elfaqar.blogspot.com - Indonesia sekarang sedang riuh dengan terpilih kembalinya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2019 - 2024. Di sisi lain, para partai koalisi dan oposisi mulai sibuk menyusun strategi untuk rekonsiliasi dan saling rebutan kursi.
Muncul sebuah pertanyaan. Apa sebenarnya tujuan kita bernegara?
Jika kita kembali kepada pembukaan Undang-undang Dasar 1945
".....membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia...."
Di dalam konteks ini tidak ada bagian yang menyebutkan tentang rebutan kursi dan apa yang harus direkonsiliasi.
Di dalam terminologi politik, kita sering mengatakan itu adalah persekongkolan politik atau rekonsiliasi? Dengan tegas kita menyebutkan bahwa itu adalah persekongkolan politik. Bagaimana menempatkan para comprador dalam putusan kedudukan-kedudukan yang ada?
Politik Indonesia telah dikuasai oleh oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki sosial. Itulah permasalahan yang sedang kita hadapi.
Konflik adalah hal yang biasa dalam politik. Konflik politik tidak bisa dihapus seperti kehendak rezim otoriter. Konflik adalah bagian dari kita hidup, yang menjadi persoalan ialah bagaimana cara kita menyelesaikan konflik tersebut?
Jika saya beropini, ialah dengan cara tanpa kekerasan. Dengan menerapkan konstruktif konflik manajemen.
Di dalam konstitusi, hak presiden ialah menentukan rekrutmen para calon anggota kabinetnya. Namun yang menjadi persoalan utama ialah presiden telah tersandera oleh koalisi.
Kemudian yang menjadi pertanyaan besar koalisi di dalam sistem presidensial ini bagaimana? Karena jika ditelaah lebih jauh, di dalam sistem presidensial tidak ada yang namanya koalisi. Yang ada hanya oposisi. Di dalam parlementer kita punya koalisi dan oposisi, ini semua adalah hal yang konstruksi.
Jika membandingkan dengan Amerika, di Amerika menganut sistem federalisme. Alexis de Tocqueville, seorang filsuf dalam bidang politik dan sejarah dari Prancis berbicara tentang federalisme di Amerika Serikat.
Itulah kenapa federal government memiliki kekuasaan nasional, keuangan, keamanan dan politik luar negeri, day to day Services ada di Negara bagian.
Kembali ke Indonesia. Fungsi minimal pemilu adalah membentuk kembali pemerintahan. Di dalam sistem politik, anda ikut pemilu, anda menang, kemudian silahkan bentuk pemerintahan.
Jika tidak menang silahkan menjadi oposisi di parlemen. Mau itu sistem presidensial ataupun parlementer. Namun kenapa masih perlu rekonsiliasi? usut punya usut hal ini kemungkinan disebabkan tidak percaya diri karena masih menginginkan legitimasi.
Legitimasi diperoleh jika capres 02 ketemu capres 01, kemudian salaman, dan di - blow up oleh semua media pendukungnya. Itu benar-benar hal yang tidak perlu.
Langsung saja membentuk pemerintahan, apakah itu menggunakan Kabinet zaken ataupun dengan cara bagi-bagi kursi dan rezeki.
Pada saat yang sama jangan sampai persekongkolan politik ini justru menyakiti para pendukung dan pemilih militannya yang sudah berjuang hingga berdarah-darah. Bahkan seperti yang kita tahu sampai ada korban di waktu sebelumnya.
Boleh saja bagi-bagi kursi, tapi yang menjadi persoalannya rekonsiliasi itu harus ada dimana? Rekonsiliasi mestilah harus ada pada kebijakan. Contohnya eskploitasi sumber daya alam, kesejahteraan rakyat, membuka lapangan pekerjaan, afiliasi politik, ideologi, pembangunan, investasi, agama.
Identitas Politik
Berbicara soal agama, dalam nuansa politis seperti sekarang. Bukanlah sesuatu yang mesti dipermasalahkan. Agama merupakan identitas, di negara maju seperti Amerika pun hal tersebut ada.
Ini disebut preferensi politik, bebas menggunakan hak pilih sesuai pilihan agama atau pun golongan tertentu karena ini merupakan sebuah tingkah laku yang wajar dalam berpolitik.
Pada dasarnya identitas itu melekat pada diri setiap insan, ia merupakan hak asasi manusia. Jangan pula kemudian agama dijadikan kambing hitam dalam berpolitik. Namun sebaliknya, jadikanlah agama sebagai kekuatan dalam membangun bangsa kita.
Moral, akhlak, etika dalam berpolitik ada di dalam agama untuk kita semua. Mungkin sebaiknya politisi lebih mendekatkan diri pada rumah ibadah, karena di situlah isi dari praktek-praktek ajaran moral bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar