About

Demonstrasi, Banjarmasin, dan Para Intelejensia

elfaqar - Beberapa waktu yang lalu, bertepatan datangnya Jokowi ke Banjarmasin, ada demo yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa di depan kantor DPRD Kalsel. Mereka ingin bertemu dengan Ketua DPRD Kalsel untuk menyampaikan aspirasinya. Sayangnya niat mereka kandas, karena saat itu kantor DPRD sedang sepi.


Kelompok demonstrasi yang mengaku perwakilan BEM se-Kalsel (padahal dominasi perguruan tinggi dari Banjarmasin) ini pun akhirnya hanya melakukan orasi dan aksi di tengah trotar jalan.


Tak hanya di Banjarmasin, hari itu di beberapa kota lainnya, mahasiswa serentak melakukan demonstrasi demi memperingati 7 tahun rezim Jokowi. Aksi terbesar di Jakarta Pusat.


Kembali ke Banjarmasin. Beberapa bulan terakhir, seringkali terjadi demo mahasiswa di Banjarmasin.


Saya senang dengan beberapa aksi mahasiswa, ini menunjukkan kepedulian para intelejensia terhadap isu-isu yang tengah berkembang di masa sekarang. Namun ada yang mengganjal. Apakah ini murni soal memperjuangkan kepentingan rakyat? Atau ada hal politis di baliknya? Hanya Tuhan dan korlap demonstrasi yang tahu soal itu.


Ramai sekali isu nasional dibawa ke daerah yang kemudian mengakibatkan gelombang demonstrasi cukup besar.


Sebagai calon penerus generasi, tidak ada salahnya untuk peduli terhadap beberapa isu nasional. Namun, alangkah baiknya jika aksi tersebut benar-benar murni dari hati nurani mereka sendiri, tanpa ada dompleng dari pihak manapun. Terlebih dari partai politik, yang kerap kali menyisipkan beberapa agenda mereka melalui organisasi ekstra kampus.


Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan kelihatan”


Peribahasa di atas cukuplah untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi hari-hari belakangan ini.


Ketika para intelejensia turun ke jalan menanggapi soal bobroknya pemerintahan Jokowi, mereka lupa bahwa kota tempat mereka tinggal juga memiliki pemimpin.


Semua kebijakan dan eksekusinya pada akhirnya bermuara kepada orang-orang yang berkuasa di lini bagian bawah. Mulai dari Ketua RT/RW, Lurah, Camat, Bupati/Walikota, hingga Gubernur.


Mahasiswa, sebagai kontrol sosial sebaiknya lebih peka terhadap beberapa permasalahan yang sedang terjadi di dekatnya.


Jika mahasiswa UI melakukan demo di depan istana kepresidenan, hal ini terlihat wajar. Kenapa? Ini terkait soal tempat. Namun, akan terlihat konyol ketika mahasiswa dari kampus yang ada di kota lain tiba-tiba ikutan demo di depan istana. Sedangkan, agenda demonstrasi saat itu hanya sekadar untuk memperingati lamanya rezim berkuasa.


Berbeda halnya saat demo tahun 1998, ketika itu suasana di berbagai daerah di Indonesia sudah tidak lagi kondusif. Oleh karenanya, mahasiswa dari berbagai kota pun berbondong-bondong pergi ke pusat Ibukota. Sebab, di situlah letak permasalahan utamanya (Soeharto berkuasa terlalu lama), di situlah kanker kekuasaan itu bercokol. Serta harus dicabut hingga ke akarnya. Sayangnya, hanya batangnya saja yang mampu ditebang.


Kini, zaman telah berubah. Saya rasa demonstrasi tak akan mampu lagi menggoyahkan kekuasaan. Tidakkah beberapa mahasiswa itu berpikir seperti ini?


Jika pun ingin melakukan demonstrasi, lebih baik untuk bisa mengangkat hal-hal yang konkret. Khususnya di daerah.


Tidakkah para intelejensia itu sadar bahwa ada yang tidak beres dengan kota ini (Banjarmasin)?

 

Banjarmasin, Kota Seribu Sungai

Tidak perlu muluk-muluk tentang permasalahan di Kalsel pada umumnya. Lihatlah Banjarmasin, kota yang dulu berjuluk “Seribu Sungai”, kata itu mulai terkikis substansinya. Mungkin di masa depan hanya akan menjadi kata legenda untuk anak cucu kita kelak, dan mereka akan bertanya kepada ayahnya, “mana sungainya?”


Fungsi sungai di Banjarmasin tidak sepenuhnya berjalan. Pembangunan yang terfokus kepada infrastruktur di darat, kini mengabaikan sungai. Kenyataannya, sungai di Banjarmasin oleh pemerintah kotanya hanya diperlakukan sebagai objek wisata belaka.


10 tahun yang lalu, saya mendambakan sungai di Banjarmasin bisa seperti sungai di Venezuela. Terjaga, asri, dan berfungsi. Ternyata itu cuma mimpi. Saya sadar para pejabat kota lebih sibuk membangun di darat ketimbang di sungai. Dinas terkait sepertinya hanya sibuk mengurusi yang ada di darat saja.


Tidak percaya? Lihatlah betapa butek dan kotornya sungai di Banjarmasin. Di sungai Banjarmasin kita akan dengan mudah mendapatkan sampah, ketimbang ikan untuk dipancing.


Ketika sungai sudah tidak terjaga, maka ekosistem di dalamnya pun perlahan akan mulai punah. Lihatlah apa yang terjadi pada hutan di Kalimantan, khususnya Kalsel. Penebangan hutan (legal dan ilegal) sebagai tempat industri, pemukiman, dan penambangan membuat Bekantan kehilangan habitatnya. Sungai juga begitu.


Bukan tidak mungkin beberapa puluh tahun ke depan (jika tidak ada gebrakan dari penguasa di daerah) beberapa hewan di air akan mengalami kepunahan.


Jika ada yang mengatakan bahwa transportasi sungai sudah ketinggalan zaman. Ini hanya alasan mereka yang malas berpikir untuk menjalankan fungsi jabatannya.

Demonstrasi, Banjarmasin, dan Para Intelejensia

Demonstrasi, Banjarmasin, dan Para Intelejensia

elfaqar - Beberapa waktu yang lalu, bertepatan datangnya Jokowi ke Banjarmasin, ada demo yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa di depan kantor DPRD Kalsel. Mereka ingin bertemu dengan Ketua DPRD Kalsel untuk menyampaikan aspirasinya. Sayangnya niat mereka kandas, karena saat itu kantor DPRD sedang sepi.


Kelompok demonstrasi yang mengaku perwakilan BEM se-Kalsel (padahal dominasi perguruan tinggi dari Banjarmasin) ini pun akhirnya hanya melakukan orasi dan aksi di tengah trotar jalan.


Tak hanya di Banjarmasin, hari itu di beberapa kota lainnya, mahasiswa serentak melakukan demonstrasi demi memperingati 7 tahun rezim Jokowi. Aksi terbesar di Jakarta Pusat.


Kembali ke Banjarmasin. Beberapa bulan terakhir, seringkali terjadi demo mahasiswa di Banjarmasin.


Saya senang dengan beberapa aksi mahasiswa, ini menunjukkan kepedulian para intelejensia terhadap isu-isu yang tengah berkembang di masa sekarang. Namun ada yang mengganjal. Apakah ini murni soal memperjuangkan kepentingan rakyat? Atau ada hal politis di baliknya? Hanya Tuhan dan korlap demonstrasi yang tahu soal itu.


Ramai sekali isu nasional dibawa ke daerah yang kemudian mengakibatkan gelombang demonstrasi cukup besar.


Sebagai calon penerus generasi, tidak ada salahnya untuk peduli terhadap beberapa isu nasional. Namun, alangkah baiknya jika aksi tersebut benar-benar murni dari hati nurani mereka sendiri, tanpa ada dompleng dari pihak manapun. Terlebih dari partai politik, yang kerap kali menyisipkan beberapa agenda mereka melalui organisasi ekstra kampus.


Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan kelihatan”


Peribahasa di atas cukuplah untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi hari-hari belakangan ini.


Ketika para intelejensia turun ke jalan menanggapi soal bobroknya pemerintahan Jokowi, mereka lupa bahwa kota tempat mereka tinggal juga memiliki pemimpin.


Semua kebijakan dan eksekusinya pada akhirnya bermuara kepada orang-orang yang berkuasa di lini bagian bawah. Mulai dari Ketua RT/RW, Lurah, Camat, Bupati/Walikota, hingga Gubernur.


Mahasiswa, sebagai kontrol sosial sebaiknya lebih peka terhadap beberapa permasalahan yang sedang terjadi di dekatnya.


Jika mahasiswa UI melakukan demo di depan istana kepresidenan, hal ini terlihat wajar. Kenapa? Ini terkait soal tempat. Namun, akan terlihat konyol ketika mahasiswa dari kampus yang ada di kota lain tiba-tiba ikutan demo di depan istana. Sedangkan, agenda demonstrasi saat itu hanya sekadar untuk memperingati lamanya rezim berkuasa.


Berbeda halnya saat demo tahun 1998, ketika itu suasana di berbagai daerah di Indonesia sudah tidak lagi kondusif. Oleh karenanya, mahasiswa dari berbagai kota pun berbondong-bondong pergi ke pusat Ibukota. Sebab, di situlah letak permasalahan utamanya (Soeharto berkuasa terlalu lama), di situlah kanker kekuasaan itu bercokol. Serta harus dicabut hingga ke akarnya. Sayangnya, hanya batangnya saja yang mampu ditebang.


Kini, zaman telah berubah. Saya rasa demonstrasi tak akan mampu lagi menggoyahkan kekuasaan. Tidakkah beberapa mahasiswa itu berpikir seperti ini?


Jika pun ingin melakukan demonstrasi, lebih baik untuk bisa mengangkat hal-hal yang konkret. Khususnya di daerah.


Tidakkah para intelejensia itu sadar bahwa ada yang tidak beres dengan kota ini (Banjarmasin)?

 

Banjarmasin, Kota Seribu Sungai

Tidak perlu muluk-muluk tentang permasalahan di Kalsel pada umumnya. Lihatlah Banjarmasin, kota yang dulu berjuluk “Seribu Sungai”, kata itu mulai terkikis substansinya. Mungkin di masa depan hanya akan menjadi kata legenda untuk anak cucu kita kelak, dan mereka akan bertanya kepada ayahnya, “mana sungainya?”


Fungsi sungai di Banjarmasin tidak sepenuhnya berjalan. Pembangunan yang terfokus kepada infrastruktur di darat, kini mengabaikan sungai. Kenyataannya, sungai di Banjarmasin oleh pemerintah kotanya hanya diperlakukan sebagai objek wisata belaka.


10 tahun yang lalu, saya mendambakan sungai di Banjarmasin bisa seperti sungai di Venezuela. Terjaga, asri, dan berfungsi. Ternyata itu cuma mimpi. Saya sadar para pejabat kota lebih sibuk membangun di darat ketimbang di sungai. Dinas terkait sepertinya hanya sibuk mengurusi yang ada di darat saja.


Tidak percaya? Lihatlah betapa butek dan kotornya sungai di Banjarmasin. Di sungai Banjarmasin kita akan dengan mudah mendapatkan sampah, ketimbang ikan untuk dipancing.


Ketika sungai sudah tidak terjaga, maka ekosistem di dalamnya pun perlahan akan mulai punah. Lihatlah apa yang terjadi pada hutan di Kalimantan, khususnya Kalsel. Penebangan hutan (legal dan ilegal) sebagai tempat industri, pemukiman, dan penambangan membuat Bekantan kehilangan habitatnya. Sungai juga begitu.


Bukan tidak mungkin beberapa puluh tahun ke depan (jika tidak ada gebrakan dari penguasa di daerah) beberapa hewan di air akan mengalami kepunahan.


Jika ada yang mengatakan bahwa transportasi sungai sudah ketinggalan zaman. Ini hanya alasan mereka yang malas berpikir untuk menjalankan fungsi jabatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar