Matahari siang bersinar terik di atas gedung-gedung pencakar langit Kota Seruni. Di dalam ruang rapat lantai delapan kantor utama PT Minyak Jaya, suasana tegang terasa pekat. Beberapa eksekutif duduk berjajar, sementara di ujung meja, seorang pria berkacamata tebal mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar pria itu, yang dikenal sebagai Dirga, Direktur Pemasaran dan Niaga perusahaan tersebut. “Jika audit ini bocor ke publik, kita semua tamat.”
Sebuah laporan investigasi baru saja masuk ke tangannya. Angka-angka mencurigakan berbaris rapi di kertas, mengungkap penyimpangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bahan bakar kelas menengah yang seharusnya berkualitas tinggi telah dicampur dengan bahan murah, lalu dijual dengan harga premium. Keuntungan berlipat, sementara dampaknya tersembunyi di balik angka keuntungan perusahaan.
Di sudut ruangan, Bram, seorang eksekutif muda dengan gelar panjang di belakang namanya, merasa tangannya mulai berkeringat. Dialah yang pertama kali menemukan kejanggalan ini. Sebagai kepala tim audit internal, ia dihadapkan pada dilema: diam dan membiarkan kejahatan ini berlanjut, atau bersuara dengan risiko kehilangan segalanya.
“Pak Dirga,” suara Bram bergetar, “ini bukan sekadar masalah bisnis. Ini menyangkut kepercayaan publik dan—”
Dirga menatapnya tajam. “Kau baru di sini, kan? Dengar, Nak. Dunia ini tidak sesederhana yang kau pikirkan. Kadang, kita harus melakukan hal-hal tertentu demi kelangsungan perusahaan.”
Bram menelan ludah. Kata-kata Dirga seperti pisau bermata dua. Namun, ia tahu bahwa kebenaran tidak bisa selamanya dikubur.
Beberapa minggu kemudian, berita tentang skandal bahan bakar oplosan meledak di berbagai media. Aparat penegak hukum bergerak cepat, menggerebek kantor pusat PT Minyak Jaya dan menangkap beberapa eksekutifnya. Dirga termasuk di antara mereka yang diborgol dan digiring keluar gedung dengan kepala tertunduk.
Di dalam kamar apartemennya yang kecil, Bram menatap layar televisi. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, ia juga tahu, ia telah memilih jalan yang benar.
Di luar, Kota Seruni tetap berdenyut seperti biasa, seolah tak terganggu oleh skandal yang baru saja mengguncang fondasi industri minyaknya. Namun, bagi mereka yang terlibat, bayang-bayang dari keputusan masa lalu akan terus mengikuti ke mana pun mereka melangkah.
Bayang-Bayang di Balik Kilang
Aku selalu ada, tapi jarang dianggap. Selalu dipersiapkan, tapi hanya dipakai ketika keadaan mendesak. Seperti ban serep di bagasi mobil, aku hidup dalam bayang-bayang. Aku adalah pilihan terakhir, seseorang yang diingat hanya saat keadaan mendesak. Tidak lebih.
Sejak kecil, aku terbiasa menjadi cadangan. Dalam keluarga, aku bukan anak emas yang dipuja-puja. Dalam pertemanan, aku bukan yang pertama diajak pergi. Aku hanya hadir ketika mereka tak punya siapa-siapa lagi. Saat teman-temanku sibuk dengan hidupnya, aku duduk di pojokan menunggu giliran, menunggu saat aku dibutuhkan. Tapi begitu mereka menemukan seseorang yang lebih baik, aku kembali dilupakan.
Saat kuliah, aku jatuh cinta pada seorang perempuan. Namanya Rina. Cantik, cerdas, dan penuh pesona. Aku selalu ada untuknya—mendengarkan ceritanya, menghiburnya saat dia sedih, menemaninya belajar. Tapi di akhir cerita, bukan aku yang dia pilih. Aku hanya tempat singgah sebelum ia menemukan seseorang yang lebih berarti. Seperti ban serep yang dipakai sebentar, lalu disingkirkan begitu ban utama sudah kembali berfungsi.
Dunia kerja pun tak jauh berbeda. Aku selalu jadi orang yang dihubungi saat ada proyek yang butuh penyelesaian cepat, saat tim butuh tambahan tenaga, saat ada masalah yang harus segera ditangani. Tapi ketika segalanya kembali normal, aku dilupakan lagi. Kenaikan jabatan? Bonus? Tidak, itu untuk mereka yang berada di garis depan, bukan untuk seorang ban serep seperti aku.
Lalu aku bertanya pada diri sendiri, sampai kapan aku terus menjadi pilihan terakhir? Sampai kapan aku membiarkan diriku hanya menjadi pengganjal?
Hingga suatu hari, sebuah ban mobil meletus di tengah jalan raya. Sopir panik, penumpang mengeluh. Tapi siapa yang mereka cari saat itu? Aku, ban serep yang selama ini mereka abaikan. Aku yang mereka pasang dengan tergesa-gesa, aku yang mereka andalkan untuk melanjutkan perjalanan.
Saat itulah aku sadar, meskipun sering dilupakan, aku tetap penting. Mungkin aku bukan pilihan utama, mungkin aku hanya digunakan dalam keadaan darurat, tapi aku punya peran yang tak tergantikan. Aku adalah penyelamat di saat genting. Tanpaku, perjalanan akan terhenti.
Aku tak lagi bersedih menjadi ban serep. Aku memilih untuk menerima diriku apa adanya. Mungkin aku bukan yang utama, tapi aku tetap berarti. Sebab tanpa ban serep, sebuah perjalanan bisa berakhir sebelum mencapai tujuan.
Ban Serep
Jakarta itu keras. Keras kayak tembok yang sering gue tidurin di bawah jembatan. Nggak ada yang empuk di sini, kecuali perut bos-bos besar yang kerjanya cuma duduk manis di kursi empuk. Sementara gue? Tidur beralas kardus dan berharap nggak diguyur hujan malam ini.
Nama gue Sarman. Orang-orang di sini manggil gue “Pak Kumis”, mungkin karena kumis gue udah panjang kayak sapu ijuk. Tapi biarlah, daripada dipanggil “Pak Miskin”.
Setiap pagi, gue bangun dengan badan pegal-pegal. Pagi ini pun sama. Langit masih gelap, tapi suara knalpot bus kota udah bikin telinga berdenging. Gue menggeliat, nyari-nyari sendal jepit yang semalam gue jadiin bantal. Ah, ketemu. Habis itu, gue langsung jalan ke warung dekat pasar, nyari sisa-sisa nasi bungkus yang mungkin masih bisa dimakan.
“Pak Kumis! Nih, sisa nasi kemarin,” kata Mbok Yati, pemilik warung, sambil ngasih bungkusan kertas minyak yang udah lecek.
“Wah, makasih, Mbok. Panjang umur sehat selalu ya!” Gue senyum lebar, walau gigi tinggal separuh.
Hidup gue sederhana. Nasi sisa yang penting bisa kenyang. Tapi hari ini, di tengah kunyahan terakhir, gue ngelihat sesuatu yang nggak biasa. Seorang bocah kecil duduk di trotoar, matanya melotot ngelihatin abang bakso yang mangkal di seberang jalan. Air liurnya netes, perutnya keroncongan, kelihatan jelas dari bunyi kencang yang sampai ke kuping gue.
Gue liatin bocah itu. Bajunya lusuh, robek di bagian pundak. Persis kayak gue waktu kecil dulu. Gue jadi inget, dulu gue juga pernah ngiler ngelihatin abang bakso yang lewat depan rumah, tapi bokap gue nggak pernah bisa beli. Katanya, “Makan nasi aja udah untung, Man.”
Gue elus-elus kantong. Isinya cuma beberapa receh hasil ngamen semalam. Cukup buat beli semangkok bakso, tapi itu artinya gue nggak makan siang nanti.
Gue pandangin bocah itu lagi. Matanya berkaca-kaca, mungkin saking laparnya. Gue ngelirik abang bakso yang lagi duduk santai di kursi plastik merah. Kayaknya dia juga lagi bosen nungguin pembeli.
Akhirnya, gue tarik napas panjang, terus nyebrang jalan.
“Bang, semangkok bakso!” suara gue agak serak.
“Siap, Pak Kumis!” Abang bakso senyum, keliatan giginya yang kuning karena rokok.
Gue bawa semangkok bakso itu ke trotoar dan jongkok di sebelah bocah kecil tadi. Matanya melotot ngeliatin bakso, kayak harimau ngeliatin daging segar.
“Makan, Dek. Abang traktir,” kata gue sambil nyodorin mangkok.
Dia kaget, matanya berkaca-kaca lagi, tapi kali ini bukan karena lapar. “Beneran, Bang?”
“Iya. Buruan makan, sebelum kuahnya dingin.”
Tanpa basa-basi, bocah itu langsung nyeruput kuah bakso panas dengan lahap. Gue duduk di sebelahnya, senyum tipis. Di situ gue sadar, di Jakarta yang keras ini, senyum seseorang ternyata semurah semangkok bakso.
Gue berdiri, siap pergi buat nyari recehan lagi. Tapi pas baru tiga langkah, bocah itu manggil, “Bang, makasih ya. Nama Abang siapa?”
Gue senyum dan jawab, “Sarman. Tapi orang-orang manggil gue Pak Kumis.”
Bocah itu manggut-manggut. “Oh, kirain Pak Bakso.”
Gue cuman nyengir, jalan lagi sambil nyoba ngikhlasin perut keroncongan. Tapi baru lima langkah, si bocah lari nyamperin gue. “Bang, ini ada uang di mangkoknya. Tadi jatuh dari saku Abang kali.”
Gue liat recehan itu, persis kayak yang gue keluarin tadi.
Gue ngelus dagu. Ternyata... si abang bakso nggak cuma giginya kuning, tapi tangannya juga cepet.
Hidup Seharga Semangkok Bakso
Latar Belakang
Perkenalan Awal Dunia Cryptocurrency
Awal Mula Investasi Crypto
Ngerjain Airdrop Sembari Investasi Crypto
PHK Massal, Ngerjain Airdrop hingga Investasi Bitcoin
Hujan deras masih mengguyur kota Banjarmasin. Rasa-rasanya sejak sore tadi, meski berangsur reda, basahnya masih terasa. Hari ini Jumat 6 September 2024, jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Namun, mata saya masih belum terasa lelah.
Kebiasaan begadang ini sepertinya tidak bisa hilang, entah sejak kapan ini bermula, saya pun lupa. Beberapa waktu belakangan, Indonesia ramai dengan berbagai pemberitaan soal demo mahasiswa, tentang anak presiden, dan tentang timpangnya penegakan hukum di negeri ini.
Saya mungkin bukan ahli hukum, tapi melihat fakta dan realita yang ada di lapangan, tidak sulit untuk mengatakan bahwa telah terjadi hal yang aneh dengan penegakan hukum di negeri ini.
Aneh tapi nyata, namun orang-orang di media sosial ramai menyebutnya "hukum di negeri ini, tumpul ke atas, tajam ke bawah".
Jika kamu bukan siapa-siapa dan 'miskin', lalu terjerat kasus hukum dan berurusan dengan kepolisian. Maka kamu hanya bisa berdoa dan berharap, bahwa mereka akan iba dan melupakan kasusmu. Karena sudah bisa dipastikan, hukumanmu akan berat sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Akan tetapi lain hal jika kamu seorang yang memiliki kekayaan, jabatan, atau bapakmu seorang yang berpengaruh. Hukum di negeri ini bisa kamu beli.
Saya agaknya sudah muak dengan istilah 'oknum' yang mereka sematkan pada orang-orang yang ketahuan berbuat curang mempermainkan hukum.
Jika busuknya sudah tercium dan terbongkar, mereka selalu berdalih dan membela diri. prettt!
Selalu Tajam ke Bawah
Hari ini 17 Agustus 2024, bertepatan sama hari kemerdekaan Republik Indonesia. Setidaknya itu yang tercatat di buku-buku sejarah waktu sekolah dulu. Ini merupakan catatan pertama dalam 6 bulan terakhir setelah saya resmi menyandang gelar 'pengangguran'. Ternyata menjadi penganggur tidak susah-susah amat, jika uang pesangon kamu banyak.
Beruntungnya saya bekerja di tempat terakhir dapat pesangon yang lumayan banyak. Selama karir saya bekerja ikut orang, hanya kali ini setelah berhenti kerja merasa sangat bebas. Mungkin jika saya masih bekerja, kulkas yang sekarang berdiri di samping dapur itu tak akan pernah terbeli.
Tak hanya saya, beberapa kawan pun sepertinya agak merasa bersyukur dengan pemberhentian kerja tersebut. Semua memiliki dampak positif dan negatif. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat.
Mereka bisa mengerjakan mimpi-mimpi yang tertunda. Namun buat yang dapat uang pesangonnya kecil, mereka hanya bisa berjaung kembali mencari pekerjaan lain yang lebih layak untuk menghidupi kehidupannya.
Berbicara tentang kehidupan, saya akhir-akhir ini sering merenung tentang kehidupan setelah mati. Saya langsung teringat kepada orang-orang dekat yang lebih dulu mati. Ada bang Herry, teman di komunitas tamiya. Ada Megawati dan satu orang yang lain, teman satu kampus. Sepupu di kampung, dan yang paling khusus, ayah saya sendiri.
Saya kemudian berpikir sambil merenung, "setelah mati, mereka kemana?".
Memang benar, mereka ada di dalam tanah dengan tubuh yang tak mampu lagi bergerak. Namun kita sebagai manusia yang masih hidup, memiliki kesadaran, ingatan, dan pikiran yang tentu saja tidak bisa digantikan.
Apakah benar manusia memiliki sesuatu yang disebut jiwa? atau itu hanya istilah rumit yang dimunculkan agar kita tidak perlu mengingatnya.
Bagaimana jika urusan kita di dunia belum selesai? ada banyak hal.
Saya pikir, tidak semua orang yang telah mati sudah menyelesaikan urusannya. Seperti teman satu kampusku, dia tidak menyelesaikan kuliahnya.
Atau bang Herry yang belum selesai merenovasi ruko yang sedang dibangunnya, padahal waktu itu dia berencana ingin membuat warung kopi. Atau mungkin ayahku. Dia mati ketika aku berada jauh darinya, dan belum melihat aku yang sekarang. Ah.... air mata saya mulai menetes.
Setelah mati kita kemana? kesadaran yang kita miliki akan kemana? dan semua ingatan yang telah kita lalui apakah akan hilang begitu saja?
Memikirkan Mati
![]() |
Foto kenang-kenangan di hari terakhir bekerja di apahabar.com |
elfaqar - Beberapa minggu yang
lalu, saya bermimpi buruk. Saya benar-benar takut mimpi itu jadi kenyataan. Sekilas
ingatan saya di dalam mimpi tersebut, berlatar pintu depan kantor tempat saya
bekerja. Saat itu jam makan siang, seperti biasa saya duduk di depan. Tiba-tiba,
bos mengatakan, “zul, ini uang pesangon
kamu”, sambil menyodorkan uang selembar 100ribu.
Sontak, saya bangun dari tidur dan langsung menyadari bahwa
itu hanya mimpi. Namun reflek, saya langsung berkata kepada istri saya yang
saat itu tidur di sebelah saya, “saya
mimpi buruk”.
Hari-hari dilewati seperti biasa. Saya sudah hampir
melupakan mimpi itu.
Namun tak lama, berhembus kabar buruk. Bahwa kantor kami
yang ada di Jakarta tutup total, dan semua karyawannya diberhentikan secara
tiba-tiba.
Saya akan bercerita dari belakang tentang kejadian itu.
Akhir Januari 2024 di minggu ke empat, saya diberi instruksi
menghapus sebuah berita yang diterbitkan oleh Jakarta. Malam itu langsung saya
kerjakan, tanpa tahu kenapa.
Paginya, bos datang ke kantor dengan mood yang buruk. Beliau
ngamuk dan marah-marah soal berita tersebut.
Esok harinya, beliau langsung terbang ke Jakarta, saya pikir apakah sebegitu urgent-nya kah hal tersebut. Beberapa hari kemudian, terdengar kabar bahwa kantor kami yang ada di Jakarta tutup total, dan terjadi PHK massal.
Kabar tersebut berhembus dengan cepat, seperti peluru yang
menghujam dada. Semua was was. Namun ada juga yang masih terlihat santai,
seolah hal itu bukan apa-apa.
Di awal Februari 2024, bos tiba-tiba mengadakan rapat
penting bersama beberapa orang petinggi di kantor. Salah satu IT kami pun ikut
dibawa rapat.
Alhasil, menurut info yang tersebar di lingkungan kantor, kami
akan berganti nama website. Saya pikir saat itu, apakah sebegitu parahnya kasus
tersebut sehingga kita harus ganti nama?
Namun beberapa karyawan ada yang mulai was was dengan hal
tersebut. Saat itu saya masih berpikir positif.
Senin, 5 Februari 2024. Bos mengumpulkan kami semua, dan
menyatakan bahwa kantor harus tutup lalu semua karyawan diberhentikan. Dikarenakan
investor tak ingin lagi berhubungan dengan media yang kami jalankan.
Seperti geledek di siang hari, saat itu saya hanya terdiam. Langsung
terbayang di pikiran saya tentang cicilan rumah yang baru jalan setahun lebih,
dan anak yang sebentar lagi mau masuk SMP.
Di saat rapat itu, saya hanya menggut-manggut kecil. Tak berani
bersuara, saya takut air mata ini menetes.
Selesai rapat, siangnya kami makan-makan bersama. Tertawa bersama, keceriaan muncul, seolah tak terjadi sesuatu yang buruk. Namun saya tau, itu hanya tawa palsu. Saya tidak bisa ikut tersenyum. Karena saya bukan manusia palsu.
Ketika Mimpi Buruk Jadi Kenyataan
elfaqar - Halo teman-teman semua, bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik saja.
Hari ini aku ingin berbagi sedikit pengalaman soal pekerjaan yang asyik.
Banyak yang bilang kalau kita kerja sesuai passion dan kegemaran, itu asyik dan menyenangkan.
Menurutku itu bohong. Kenapa?
Karena kalau udah masuk ke dunia kerja, otomatis akan ada tuntutan yang muncul,
dari dalam maupun dari luar kerjaan itu.
Jadi, kerjaan yang katanya sesuai passion
itu asyik, udah jadi gak asyik asyik amat.
Dulu, aku pernah termakan oleh mindset yang
seperti itu. Bahwa bekerja sesuai passion itu asyik.
Karena hobi komputer, dan ada pengalaman ngerjain
desain. Aku memutuskan untuk menjadi desainer grafis.
Nah, selama bertahun-tahun sejak 2010 aku
kerja sebagai desainer grafis di beberapa percetakan di Banjarmasin.
Pekerjaan yang awalnya asyik, lama kelamaan
jadi tidak asyik. Desainer grafis selalu ditekan oleh deadline dan pekerjaan
yang menumpuk. Kerjaan banyak, bonus pun gak ada.
Boro-boro bonus, malahan di beberapa
percetakan goblok di Banjarmasin menggratiskan tenaga desainernya untuk diperas
oleh klien dan bosnya sendiri.
Dan sialnya di Banjarmasin masih ada
percetakan yang tidak membayar upah desainer secara layak.
Balik lagi ke pengalaman pribadiku, di
tahun 2012 aku putuskan untuk resign dari bekerja di tempat orang menjadi buka
usaha cetakan sendiri.
Dalam pikiranku saat itu, aku terbebas dari
cengkeraman korporat. Aku bisa melanjutkan pekerjaanku yang asyik ini tanpa
tekanan dari siapapun.
Tekanan emang hilang, tapi tagihan sewa
kios ada terus tiap bulan. Mana order sering sepi. Pasnya ada, malah sering
ngutang.
4 tahun kemudian usahaku gulung tikar.
Aku baru sadar, ternyata tidak ada
pekerjaan yang asyik. Walaupun itu sesuai dengan passion yang kita jalani.
Jadilah aku sekarang, bertahan sebagai
budak korporat. Melaksanakan perintah atasan, sesuai kehendak mereka. Rasanya seperti
ini lebih damai ketimbang bekerja sendiri.