About

DPR, Demonstrasi, dan Matinya Empati

Senin 1 September 2025, jam menunjukkan pukul 00.40 WITA. Indonesia sedang tidak baik-baik saja, saya rasa itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kegaduhan yang sedang terjadi di negeri ini.


Banyak hal telah terjadi di masa kepemimpinan presiden Prabowo, mulai dari kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat hingga kelakukan para pembantu presiden yang sepertinya tidak sejalan dengan visi presiden itu sendiri.


Saya katakan demikian, karena jelas terlihat. Setiap menterinya mengeluarkan kebijakan dan kemudian diprotes lalu viral. Presiden menjadi orang yang membersihkan kekacauan tersebut. Seperti tidak ada sinergi antara presiden dan para pembantunya.


Semua tentu masih ingat tentang kebijakan gas elpiji yang hanya diperbolehkan dijual oleh agen, sedangkan warung-warung dilarang menjualnya. Akibatnya membuat barang tersebut menjadi langka.


Tak hanya sampai di situ, kebijakan itu juga menelan korban jiwa. Seorang nenek berusia 62 tahun meninggal akibat antre gas elpiji. Beliau diduga kelelahan akibat usai berburu elpiji 3 kilogram yang saat itu langka di berbagai wilayah.


Kebijakan lain yang cukup mencekik masyarakat ialah kenaikan pajak yang dinilai semena-mena dan tidak disesuaikan dengan peghasilan masyarakat yang tidak bertambah.


Segala peristiwa terakumulasi, hingga puncaknya pada saat DPR mengumumkan gaji dan tunjangan untuk para anggotanya. Nilainya sangat fantastis, dan hampir di luar akal manusia. Diperkirakan anggota DPR bisa meraup gaji Rp 3 juta per hari.



Melihat kenyataan yang ada, masyarakat seolah tertampar dan menjadi marah, terutama mereka yang berada di kalangan bawah. Mereka yang berusaha memiliki penghidupan dan mencari uang untuk hidup dari hari ke hari.


Tak sedikit pula dari komentar netizen yang merasa menyesal berada di negeri ini, hidup dan tinggal di sini. Melihat para pemimpin dan wakil mereka seolah tidak memiliki empati.


Berita soal gaji dan tunjangan anggota DPR cepat meluas bahkan menjadi perbincangan dimana-mana. Keadaan semakin diperkeruh dengan menyebarnya video mereka terlihat sedang joget-joget saat pengumuman itu berlangsung. Meskipun telah dikonfirmasi bahwa joget-joget tersebut bukanlah rasa senang karena gaji dan tunjangan itu. 


Namun masyarakat kadung marah dan kesal. Apalagi ketika ada media yang bertanya soal gaji dan tunjangan tersebut. Mereka, para anggota DPR bukannya menanggapi dengan serius malah menjawab dengan congkak.


"DPR tidak bisa disamakan dengan rakyat jelata," begitu kata salah seorang dari mereka.


Di lain sisi muncul protes dan penolakan terhadap gaji dan tunjangan DPR, sehingga muncul pernyataan "BUBARKAN DPR".


Salah seorang anggota DPR, Ahmad Sahroni menanggapi pernyataan itu dengan nada menantang dan ketus, bahkan mengatai mereka yang ingin DPR bubar adalah "ORANG TOLOL".


Otomatis, bak bensin yang tersulut api. Amarah masyarakat yang awalnya hanya dilampiaskan pada timeline di media sosial berubah menjadi murka dan demonstrasi di depan gedung DPR.


Tak hanya mahasiswa, hampir seluruh elemen masyarakat ikut menyuarakan aspirasinya. Meskipun diawali dengan aksi damai. Namun sebuah demonstrasi selalu berujung ricuh jika para wakil mereka yang duduk di senayan tidak bisa menghadirkan diri.


Di beberapa siaran media, ketimbang mahasiswa dengan almamaternya, saya lebih banyak melihat para pengemudi ojek online yang ikut berdemonstrasi.


Bentrok kemudian terjadi antara polisi dan para pendemo.


Jumat 29 Agustus 2025, menjadi akhir tragis bagi seorang pemuda berusia 21 tahun. Namanya Affan Kurniawan, dia tidak ikut berdemo. 


Saat itu ia sedang mengantarkan pesanan untuk pelanggannya, di antara kerumunan para pendemo ia kemudian menyeberang jalan. 


Untung tak dapat diraih, sial tak dapat dihindari. Ia terpeleset dan tertabrak oleh mobil rantis brimob, yang sangat disesalkan bukannya berhenti, mobil seberat 12 ton itu justru melindas tubuh kurus Affan. Hingga akhirnya meninggal di tempat.


Massa yang awalnya ingin membubarkan diri, kemudian balik mengejar mobil itu hingga ke markas brimob untuk meminta pertanggungjawaban dan keadilan. Saat ini sudah ditetapkan 7 orang tersangka dalam insiden tragis yang merenggut satu nyawa tak bersalah.


DPR yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan dari rakyat dan hidup dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat seolah mati empatinya. Ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi reformasi jilid dua jika presiden dan para penguasa tidak segera bertindak. 


DPR, Demonstrasi, dan Matinya Empati

Tangan Kecil Fauzi



Suasana sore di Yogyakarta kala itu begitu teduh. Matahari yang mulai condong ke barat menebarkan sinarnya lewat sela-sela jendela kayu tua di ruang kelas Sekolah Dasar Muhammadiyah. Ruangan sederhana itu dipenuhi suara lantunan ayat suci. Anak-anak duduk bersila, mushaf kecil di pangkuan, mata mereka mengikuti deretan huruf hijaiyah yang mengalir dalam bacaan.

Di barisan depan, seorang bocah bernama Fauzi terlihat begitu tekun. Tangannya kecil, wajahnya bersih, matanya jernih. Usianya baru sepuluh tahun, namun sorotnya memancarkan kedewasaan yang jarang dimiliki anak seumurannya. Sejak ayahnya meninggal beberapa bulan lalu, Fauzi semakin rajin beribadah. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia selalu mengirimkan doa untuk sang ayah yang kini beristirahat di alam keabadian.

“Bapak pasti senang kalau Fauzi rajin mengaji,” begitu katanya setiap kali ibunya menatapnya sambil menahan haru.

Fauzi bukanlah anak yang menonjol dalam hal pelajaran. Nilainya biasa saja, tubuhnya pun kurus kecil. Namun ada satu hal yang membuat semua orang mengenalnya: hatinya yang tulus. Ia selalu lebih dulu membantu teman yang kesulitan, entah sekadar meminjamkan pensil, berbagi bekal, atau menenangkan teman yang menangis.

Hari itu, suasana mengaji berjalan seperti biasa. Fauzi duduk di samping sahabatnya, Rizal, anak yang terkenal suka bercanda. Namun kali ini Rizal pun terlihat khusyuk.

“Fauzi, setelah ini kita main bola, ya,” bisik Rizal dengan senyum kecil.

Fauzi mengangguk sambil tersenyum. “Boleh, tapi jangan lupa shalat Magrib dulu. Kita main setelah itu.”

Mereka berdua terkekeh pelan, lalu kembali menunduk pada mushaf masing-masing.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dari langit-langit ruangan, terdengar bunyi krek… krek…, seperti kayu yang ditekan beban berat. Beberapa anak berhenti membaca, menoleh ke atas.“Ada apa, ya?” tanya seorang murid di barisan belakang.

Sebelum sempat ada yang menjawab, suara retakan makin keras. Debu-debu beterbangan, dan tiba-tiba saja atap kayu yang rapuh itu berguncang. Dalam sekejap, kepanikan pecah.

“Lari! Lari keluar!” teriak guru mereka, Bu Siti, dengan wajah pucat.

Anak-anak bangkit berhamburan, sebagian menangis histeris, sebagian lagi berlari tanpa arah. Fauzi terperangah, jantungnya berdegup kencang. Saat itu ia melihat balok besar ambruk tepat di dekat pintu keluar, menghalangi jalan. Teman-temannya yang ingin keluar berdesakan, panik mencari celah.

Dalam hatinya, Fauzi tahu ia harus melakukan sesuatu. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah pintu. Dengan tangan kecilnya, ia menahan balok kayu yang nyaris roboh sepenuhnya. Tubuh mungilnya bergetar, wajahnya meringis menahan sakit.

“Cepat! Keluar semua! Jangan tunggu aku!” teriaknya dengan suara parau.

Anak-anak lain berlari keluar satu per satu. Rizal sempat berhenti, menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Zi! Ayo ikut aku!”

Fauzi menggoyangkan kepalanya. “Pergi, Jal! Tolong ibu-ibu dan guru di luar. Jangan biarkan ada yang tertinggal!”

Rizal meneteskan air mata, lalu berlari keluar bersama yang lain.

Kini tinggal Fauzi sendiri di dalam kelas yang semakin porak-poranda. Debu makin tebal, suara kayu patah terdengar di mana-mana. Tangannya semakin lemah, namun ia bertahan. Dalam hatinya, ia berdoa lirih, “Ya Allah, selamatkan teman-temanku. Biar aku saja yang di sini.”

Namun tubuh mungil itu tak mampu lagi menahan. Dengan satu gemuruh keras, balok besar dan atap runtuh menimpanya. Gelap. Sunyi.

Beberapa menit kemudian, orang-orang dewasa bergegas masuk setelah memastikan anak-anak keluar. Mereka menemukan Fauzi tertimpa reruntuhan. Nafasnya tersengal, matanya setengah terpejam. Di bibirnya, masih terdengar lantunan ayat pendek yang sempat ia baca sebelum kejadian.

“Cepat! Bawa ke rumah sakit!” teriak seorang guru sambil menggendong tubuh kecil itu.

Di perjalanan, Fauzi sempat membuka matanya. Ia melihat wajah gurunya yang menangis. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Teman-temanku… mereka selamat, kan?”

Sang guru mengangguk sambil terisak. “Iya, Nak… semua selamat.”

Senyum tipis terukir di wajah Fauzi. Lalu, perlahan, matanya terpejam.

Keesokan harinya, langit Yogyakarta tampak muram, seakan ikut berduka. Di pemakaman kecil desa, tubuh Fauzi dimakamkan di samping pusara ayahnya. Puluhan anak sekolah hadir, membawa bunga, wajah mereka sembab. Rizal berdiri paling depan, menatap liang lahat itu dengan mata bengkak.

“Dia bukan hanya temanku… dia pahlawan,” bisiknya lirih.

Bu Siti, dengan suara bergetar, berkata di hadapan semua murid, “Fauzi telah mengajarkan kita arti keberanian dan ketulusan. Dengan tangan kecilnya, ia menyelamatkan nyawa teman-temannya. Semoga Allah menempatkannya bersama orang-orang yang dicintai-Nya.”

Sejak hari itu, nama Fauzi selalu dikenang di sekolah itu. Di ruang kelas yang kemudian diperbaiki, mereka memasang sebuah papan kecil bertuliskan:

“Di sini, seorang anak bernama Fauzi mengajarkan kita arti pengorbanan.”

Dan setiap kali teman-temannya membaca doa, mereka yakin Fauzi tersenyum dari tempat yang lebih indah, bersama ayahnya, dalam cahaya yang abadi.

Tangan Kecil Fauzi

kilang minyak

Matahari siang bersinar terik di atas gedung-gedung pencakar langit Kota Seruni. Di dalam ruang rapat lantai delapan kantor utama PT Minyak Jaya, suasana tegang terasa pekat. Beberapa eksekutif duduk berjajar, sementara di ujung meja, seorang pria berkacamata tebal mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja.

“Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar pria itu, yang dikenal sebagai Dirga, Direktur Pemasaran dan Niaga perusahaan tersebut. “Jika audit ini bocor ke publik, kita semua tamat.”

Sebuah laporan investigasi baru saja masuk ke tangannya. Angka-angka mencurigakan berbaris rapi di kertas, mengungkap penyimpangan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bahan bakar kelas menengah yang seharusnya berkualitas tinggi telah dicampur dengan bahan murah, lalu dijual dengan harga premium. Keuntungan berlipat, sementara dampaknya tersembunyi di balik angka keuntungan perusahaan.

Di sudut ruangan, Bram, seorang eksekutif muda dengan gelar panjang di belakang namanya, merasa tangannya mulai berkeringat. Dialah yang pertama kali menemukan kejanggalan ini. Sebagai kepala tim audit internal, ia dihadapkan pada dilema: diam dan membiarkan kejahatan ini berlanjut, atau bersuara dengan risiko kehilangan segalanya.

“Pak Dirga,” suara Bram bergetar, “ini bukan sekadar masalah bisnis. Ini menyangkut kepercayaan publik dan—”

Dirga menatapnya tajam. “Kau baru di sini, kan? Dengar, Nak. Dunia ini tidak sesederhana yang kau pikirkan. Kadang, kita harus melakukan hal-hal tertentu demi kelangsungan perusahaan.”

Bram menelan ludah. Kata-kata Dirga seperti pisau bermata dua. Namun, ia tahu bahwa kebenaran tidak bisa selamanya dikubur.

Beberapa minggu kemudian, berita tentang skandal bahan bakar oplosan meledak di berbagai media. Aparat penegak hukum bergerak cepat, menggerebek kantor pusat PT Minyak Jaya dan menangkap beberapa eksekutifnya. Dirga termasuk di antara mereka yang diborgol dan digiring keluar gedung dengan kepala tertunduk.

Di dalam kamar apartemennya yang kecil, Bram menatap layar televisi. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, ia juga tahu, ia telah memilih jalan yang benar.

Di luar, Kota Seruni tetap berdenyut seperti biasa, seolah tak terganggu oleh skandal yang baru saja mengguncang fondasi industri minyaknya. Namun, bagi mereka yang terlibat, bayang-bayang dari keputusan masa lalu akan terus mengikuti ke mana pun mereka melangkah.

Bayang-Bayang di Balik Kilang

Ban Serep

Aku selalu ada, tapi jarang dianggap. Selalu dipersiapkan, tapi hanya dipakai ketika keadaan mendesak. Seperti ban serep di bagasi mobil, aku hidup dalam bayang-bayang. Aku adalah pilihan terakhir, seseorang yang diingat hanya saat keadaan mendesak. Tidak lebih.

Sejak kecil, aku terbiasa menjadi cadangan. Dalam keluarga, aku bukan anak emas yang dipuja-puja. Dalam pertemanan, aku bukan yang pertama diajak pergi. Aku hanya hadir ketika mereka tak punya siapa-siapa lagi. Saat teman-temanku sibuk dengan hidupnya, aku duduk di pojokan menunggu giliran, menunggu saat aku dibutuhkan. Tapi begitu mereka menemukan seseorang yang lebih baik, aku kembali dilupakan.

Saat kuliah, aku jatuh cinta pada seorang perempuan. Namanya Rina. Cantik, cerdas, dan penuh pesona. Aku selalu ada untuknya—mendengarkan ceritanya, menghiburnya saat dia sedih, menemaninya belajar. Tapi di akhir cerita, bukan aku yang dia pilih. Aku hanya tempat singgah sebelum ia menemukan seseorang yang lebih berarti. Seperti ban serep yang dipakai sebentar, lalu disingkirkan begitu ban utama sudah kembali berfungsi.

Dunia kerja pun tak jauh berbeda. Aku selalu jadi orang yang dihubungi saat ada proyek yang butuh penyelesaian cepat, saat tim butuh tambahan tenaga, saat ada masalah yang harus segera ditangani. Tapi ketika segalanya kembali normal, aku dilupakan lagi. Kenaikan jabatan? Bonus? Tidak, itu untuk mereka yang berada di garis depan, bukan untuk seorang ban serep seperti aku.

Lalu aku bertanya pada diri sendiri, sampai kapan aku terus menjadi pilihan terakhir? Sampai kapan aku membiarkan diriku hanya menjadi pengganjal?

Hingga suatu hari, sebuah ban mobil meletus di tengah jalan raya. Sopir panik, penumpang mengeluh. Tapi siapa yang mereka cari saat itu? Aku, ban serep yang selama ini mereka abaikan. Aku yang mereka pasang dengan tergesa-gesa, aku yang mereka andalkan untuk melanjutkan perjalanan.

Saat itulah aku sadar, meskipun sering dilupakan, aku tetap penting. Mungkin aku bukan pilihan utama, mungkin aku hanya digunakan dalam keadaan darurat, tapi aku punya peran yang tak tergantikan. Aku adalah penyelamat di saat genting. Tanpaku, perjalanan akan terhenti.

Aku tak lagi bersedih menjadi ban serep. Aku memilih untuk menerima diriku apa adanya. Mungkin aku bukan yang utama, tapi aku tetap berarti. Sebab tanpa ban serep, sebuah perjalanan bisa berakhir sebelum mencapai tujuan.

Ban Serep

Hidup Seharga Semangkok Bakso

Jakarta itu keras. Keras kayak tembok yang sering gue tidurin di bawah jembatan. Nggak ada yang empuk di sini, kecuali perut bos-bos besar yang kerjanya cuma duduk manis di kursi empuk. Sementara gue? Tidur beralas kardus dan berharap nggak diguyur hujan malam ini.

Nama gue Sarman. Orang-orang di sini manggil gue “Pak Kumis”, mungkin karena kumis gue udah panjang kayak sapu ijuk. Tapi biarlah, daripada dipanggil “Pak Miskin”.

Setiap pagi, gue bangun dengan badan pegal-pegal. Pagi ini pun sama. Langit masih gelap, tapi suara knalpot bus kota udah bikin telinga berdenging. Gue menggeliat, nyari-nyari sendal jepit yang semalam gue jadiin bantal. Ah, ketemu. Habis itu, gue langsung jalan ke warung dekat pasar, nyari sisa-sisa nasi bungkus yang mungkin masih bisa dimakan.

“Pak Kumis! Nih, sisa nasi kemarin,” kata Mbok Yati, pemilik warung, sambil ngasih bungkusan kertas minyak yang udah lecek.
“Wah, makasih, Mbok. Panjang umur sehat selalu ya!” Gue senyum lebar, walau gigi tinggal separuh.

Hidup gue sederhana. Nasi sisa yang penting bisa kenyang. Tapi hari ini, di tengah kunyahan terakhir, gue ngelihat sesuatu yang nggak biasa. Seorang bocah kecil duduk di trotoar, matanya melotot ngelihatin abang bakso yang mangkal di seberang jalan. Air liurnya netes, perutnya keroncongan, kelihatan jelas dari bunyi kencang yang sampai ke kuping gue.

Gue liatin bocah itu. Bajunya lusuh, robek di bagian pundak. Persis kayak gue waktu kecil dulu. Gue jadi inget, dulu gue juga pernah ngiler ngelihatin abang bakso yang lewat depan rumah, tapi bokap gue nggak pernah bisa beli. Katanya, “Makan nasi aja udah untung, Man.”

Gue elus-elus kantong. Isinya cuma beberapa receh hasil ngamen semalam. Cukup buat beli semangkok bakso, tapi itu artinya gue nggak makan siang nanti.

Gue pandangin bocah itu lagi. Matanya berkaca-kaca, mungkin saking laparnya. Gue ngelirik abang bakso yang lagi duduk santai di kursi plastik merah. Kayaknya dia juga lagi bosen nungguin pembeli.

Akhirnya, gue tarik napas panjang, terus nyebrang jalan.
“Bang, semangkok bakso!” suara gue agak serak.
“Siap, Pak Kumis!” Abang bakso senyum, keliatan giginya yang kuning karena rokok.

Gue bawa semangkok bakso itu ke trotoar dan jongkok di sebelah bocah kecil tadi. Matanya melotot ngeliatin bakso, kayak harimau ngeliatin daging segar.
“Makan, Dek. Abang traktir,” kata gue sambil nyodorin mangkok.

Dia kaget, matanya berkaca-kaca lagi, tapi kali ini bukan karena lapar. “Beneran, Bang?”
“Iya. Buruan makan, sebelum kuahnya dingin.”

Tanpa basa-basi, bocah itu langsung nyeruput kuah bakso panas dengan lahap. Gue duduk di sebelahnya, senyum tipis. Di situ gue sadar, di Jakarta yang keras ini, senyum seseorang ternyata semurah semangkok bakso.

Gue berdiri, siap pergi buat nyari recehan lagi. Tapi pas baru tiga langkah, bocah itu manggil, “Bang, makasih ya. Nama Abang siapa?”
Gue senyum dan jawab, “Sarman. Tapi orang-orang manggil gue Pak Kumis.”
Bocah itu manggut-manggut. “Oh, kirain Pak Bakso.”

Gue cuman nyengir, jalan lagi sambil nyoba ngikhlasin perut keroncongan. Tapi baru lima langkah, si bocah lari nyamperin gue. “Bang, ini ada uang di mangkoknya. Tadi jatuh dari saku Abang kali.”
Gue liat recehan itu, persis kayak yang gue keluarin tadi.
Gue ngelus dagu. Ternyata... si abang bakso nggak cuma giginya kuning, tapi tangannya juga cepet.

Hidup Seharga Semangkok Bakso

investasi bitcoin

November baru saja usai, rasa-rasanya waktu cepat sekali berlalu. Hari ini 4 Desember 2024. Tahun ini menjadi tahun yang menyedihkan sekaligus menggembirakan buat saya.

Di awal tahun 2024 berita buruk datang, terjadi PHK massal di tempat saya bekerja. Saat itu saya tak tau harus bereaksi seperti apa. Sedih, bingung, dan resah bercampur aduk.

Namun setelah mendengar kabar tentang uang pesangon, semua rasa itu tiba-tiba lenyap. Otak saya langsung berpikir tentang bagaimana menyimpan dan melipatgandakan uang tersebut.

Latar Belakang

Sebagai informasi, saya seorang tenaga IT support di sebuah perusahaan media. Karena sesuatu hal, media tersebut harus tutup dan kemudian berganti nama. Alhasil, investor pun hilang yang mengakibatkan PHK massal terjadi.

Sebenarnya saya sudah lama sekali ingin membeli sedikit bitcoin. Bahkan mungkin sejak 2014, saat saya sedang melarat-melaratnya. Namun, keinginan itu saya kubur dalam-dalam.

Kala itu, jangankan buat menabung, untuk memenuhi kebutuhan setiap bulan saja selalu pas-pasan. Meski setelahnya sudah bekerja, saya yang hanya menyandang gelar lulusan SMA, selalu digaji rendah. Namun beruntung, uang tersebut selalu bisa mencukupi kebutuhan hidup saya dan keluarga.

Sebelum masuk dan berinvestasi di kripto, saya pernah mencoba beberapa instrumen investasi, seperti reksadana, saham, obligasi, SBN. Namun, setelah mempelajari semuanya. Saya tetap kepincut sama bitcoin.

Perkenalan Awal Dunia Cryptocurrency

Meski tak mampu berinvestasi, saya yang penasaran tentu mencoba beberapa hal. Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa bisa cuan di dunia cryptocurrency dapat dilakukan melalui beberapa cara:

- Membeli bitcoin
- Menambang bitcoin
- Faucet gratis dengan mengerjakan task

Saat itu, hal yang paling memungkinkan ialah dengan menambang dan mengambil faucet gratisan. Meski buta sama sekali terhadap hal tersebut, akhirnya saya menemukan caranya.

Saya mulai aktif menambang bitcoin di website yang bernama kryptex. Dengan hanya menggunakan komputer di kantor dan rumahan, saya bisa menghasilkan bitcoin saat itu.

Ketika mendapatkan bitcoin pertama, saya tidak terpikir untuk menyimpannya. Karena dirasa harganya lumayan tinggi, saya pun langsung menjualnya. Hal itu berlangsung selama 3 tahun.

Selain menambang, Sekitar tahun 2017 di playstore banyak tersedia game play to earn untuk menghasilkan bitcoin. Saya pun memainkan itu, dan daripada menambang lebih banyak dapat bitcoin dari bermain game tersebut.

Namun lagi-lagi tidak pernah ada kepikiran untuk menyimpan bitcoin. Kebetulan ekonomi sedang sulit, setiap penarikan langsung saya jual, uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Entah sudah beberapa kali dalam hidup saya terselamatkan oleh datangnya "uang-uang ajaib" dari blockchain.

Awal Mula Investasi Crypto

Di tahun 2021 saya memiliki uang tabungan yang saya kumpulkan dari uang THR beberapa tahun sebelumnya. Saat itu bull market sedang terjadi. Namun tololnya, bukannya membeli bitcoin, saya malah membeli beberapa token/koin yang di kemudian hari membuat saya floating loss hingga 85%.

Saat itu saya berpikir bahwa bitcoin sudah terlalu mahal, ketika itu bitcoin mencapai harga 800 jutaan/btc.

Saya membeli beberapa koin/token yang murah dengan harapan agar harganya bisa berkali-kali lipat nantinya. Namun, ekspektasi saya terlalu tinggi. Setelah bull market selesai, semua koin yang saya beli mulai mengalami penurunan harga hingga 85%.

Saat itu portofolio saya langsung merah semua. Saya akhirnya pasrah, dan membiarkan itu terjadi. Saya akui saat itu saya berada di fase yang sangat bodoh.

Meski begitu setiap 2 atau 3 bulan sekali, saya selalu mengakumulasi koin dan token yang saya beli sebelumnya. Itu pun kalau ada duitnya.

Memasuki tahun 2023, bear market hampir usai. Saat itu yang membicarakan tentang bitcoin dan cryptocurrency sudah hampir tak ada. Bahkan beberapa channel youtube yang pernah saya ikuti sudah banyak yang gulung tikar.

Bitcoin mengalami titik terendah di harga 16ribu dollar sekitar bulan April 2023. Sayangnya saat itu saya tak memiliki tabungan apapun.

Dalam hati saya bertekad, bahwa jika saya memiliki uang lebih akan langsung membeli bitcoin.

Meski sudah tak lagi mengakumulasi beberapa koin, saya masih aktif memantau market. Minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu. Perubahan harga bitcoin semakin hari semakin terlihat mengalami kenaikan. Dari 16 ribu ke 25 ribu dolar, terus naik.

Ngerjain Airdrop Sembari Investasi Crypto

Saya mulai terjun di dunia airdrop setelah melihat seorang kawan aktif menggarap beberapa airdrop untuk mendapatkan koin gratis, katanya.

Sekadar informasi, airdrop merupakan sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh developer ataupun suatu instansi untuk mendistribusikan koin/token mereka ke komunitas dengan sebelumnya mengerjakan beberapa tugas atau syarat.

Saya tertarik, awalnya saya hanya mengerjakan beberapa task sosial media di dalam sebuah website. Saya masih ingat, nama websitenya taskon. Semua event airdrop di website itu saya kerjakan, mungkin ada ratusan. Alhasil selama seminggu, saya memenangkan beberapa airdrop. Hingga terkumpul sekitar 50 dolar.

Uang itu kemudian saya putar dengan membeli bitcoin di bulan Desember 2023, saat itu harga bitcoin sudah mencapai 41 ribu dolar.

Masih di bulan yang sama. Saya pertama kali mengikuti airdrop di aplikasi telegram ialah airdrop dari notcoin di jaringan ton. Kerjaannya cuma tap tap layar saja. Awalnya saya tidak percaya, namun karena tidak ada ruginya dan tanpa modal, saya kerjakan airdrop itu.

PHK terjadi di bulan Februari 2024. Saya masih aktif mengerjakan airdrop tap tap di notcoin.

Setelah uang pesangon cair, saya langsung membeli bitcoin, sayangnya saat itu harga bitcoin sudah naik menjadi 50 ribu dolar. Namun karena sudah niat dari awal, saya tak ragu.

Sekitar bulan Maret 2024 ada kabar baik dari notcoin, bahwa tokennya akan listing. Itu merupakan airdrop pertama saya dari aplikasi telegram.

Saat itu untuk mengklaim airdrop harus memiliki koin ton di wallet. Dengan modal 5 dolar, saya beli 2 koin ton untuk mengisi wallet.

Lumayan, jika dirupiahkan mungkin sekitar 1 hinga 2 jutaan uangnya. Akhirnya, saya ketagihan mengerjakan airdrop hingga sekarang.

Beberapa ada yang menghasilkan, beberapa ada yang jadi abu. Abu merupakan istilah mereka yang menggarap airdrop namun hasilnya kecil atau tidak ada sama sekali.

Beberapa airdrop yang memberikan hasil yang lumayan setelah notcoin seperti BWB, DOGS, CATI, CARV dan beberapa airdrop lainnya.

Sekarang sudah memasuki akhir tahun 2024, portofolio saya yang dulu merah, kini mulai membaik.


PHK Massal, Ngerjain Airdrop hingga Investasi Bitcoin


Hujan deras masih mengguyur kota Banjarmasin. Rasa-rasanya sejak sore tadi, meski berangsur reda, basahnya masih terasa. Hari ini Jumat 6 September 2024, jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Namun, mata saya masih belum terasa lelah.


Kebiasaan begadang ini sepertinya tidak bisa hilang, entah sejak kapan ini bermula, saya pun lupa. Beberapa waktu belakangan, Indonesia ramai dengan berbagai pemberitaan soal demo mahasiswa, tentang anak presiden, dan tentang timpangnya penegakan hukum di negeri ini.


Saya mungkin bukan ahli hukum, tapi melihat fakta dan realita yang ada di lapangan, tidak sulit untuk mengatakan bahwa telah terjadi hal yang aneh dengan penegakan hukum di negeri ini.


Aneh tapi nyata, namun orang-orang di media sosial ramai menyebutnya "hukum di negeri ini, tumpul ke atas, tajam ke bawah".


Jika kamu bukan siapa-siapa dan 'miskin', lalu terjerat kasus hukum dan berurusan dengan kepolisian. Maka kamu hanya bisa berdoa dan berharap, bahwa mereka akan iba dan melupakan kasusmu. Karena sudah bisa dipastikan, hukumanmu akan berat sesuai dengan undang-undang yang berlaku.


Akan tetapi lain hal jika kamu seorang yang memiliki kekayaan, jabatan, atau bapakmu seorang yang berpengaruh. Hukum di negeri ini bisa kamu beli. 


Saya agaknya sudah muak dengan istilah 'oknum' yang mereka sematkan pada orang-orang yang ketahuan berbuat curang mempermainkan hukum.


Jika busuknya sudah tercium dan terbongkar, mereka selalu berdalih dan membela diri. prettt! 


Selalu Tajam ke Bawah


Hari ini 17 Agustus 2024, bertepatan sama hari kemerdekaan Republik Indonesia. Setidaknya itu yang tercatat di buku-buku sejarah waktu sekolah dulu. Ini merupakan catatan pertama dalam 6 bulan terakhir setelah saya resmi menyandang gelar 'pengangguran'. Ternyata menjadi penganggur tidak susah-susah amat, jika uang pesangon kamu banyak.


Beruntungnya saya bekerja di tempat terakhir dapat pesangon yang lumayan banyak. Selama karir saya bekerja ikut orang, hanya kali ini setelah berhenti kerja merasa sangat bebas. Mungkin jika saya masih bekerja, kulkas yang sekarang berdiri di samping dapur itu tak akan pernah terbeli.


Tak hanya saya, beberapa kawan pun sepertinya agak merasa bersyukur dengan pemberhentian kerja tersebut. Semua memiliki dampak positif dan negatif. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat.


Mereka bisa mengerjakan mimpi-mimpi yang tertunda. Namun buat yang dapat uang pesangonnya kecil, mereka hanya bisa berjaung kembali mencari pekerjaan lain yang lebih layak untuk menghidupi kehidupannya.


Berbicara tentang kehidupan, saya akhir-akhir ini sering merenung tentang kehidupan setelah mati. Saya langsung teringat kepada orang-orang dekat yang lebih dulu mati. Ada bang Herry, teman di komunitas tamiya. Ada Megawati dan satu orang yang lain, teman satu kampus. Sepupu di kampung, dan yang paling khusus, ayah saya sendiri.


Saya kemudian berpikir sambil merenung, "setelah mati, mereka kemana?". 


Memang benar, mereka ada di dalam tanah dengan tubuh yang tak mampu lagi bergerak. Namun kita sebagai manusia yang masih hidup, memiliki kesadaran, ingatan, dan pikiran yang tentu saja tidak bisa digantikan.


Apakah benar manusia memiliki sesuatu yang disebut jiwa? atau itu hanya istilah rumit yang dimunculkan agar kita tidak perlu mengingatnya. 


Bagaimana jika urusan kita di dunia belum selesai? ada banyak hal. 


Saya pikir, tidak semua orang yang telah mati sudah menyelesaikan urusannya. Seperti teman satu kampusku, dia tidak menyelesaikan kuliahnya.


Atau bang Herry yang belum selesai merenovasi ruko yang sedang dibangunnya, padahal waktu itu dia berencana ingin membuat warung kopi. Atau mungkin ayahku. Dia mati ketika aku berada jauh darinya, dan belum melihat aku yang sekarang. Ah.... air mata saya mulai menetes.


Setelah mati kita kemana? kesadaran yang kita miliki akan kemana? dan semua ingatan yang telah kita lalui apakah akan hilang begitu saja?

  

Memikirkan Mati