HUKUM, Tajam ke Bawah dan Tumpul ke Atas
elfaqar.blogspot.com - Saya pernah mendengar penyataan tentang penjara. "penjara hanya boleh ditempati oleh kriminal", kata BJ Habibie. Namun di jaman sekarang ini, penjara tidak lagi diperuntukkan bagi para kriminal. Terkadang penjara juga menjadi tempat bagi mereka yang tidak bisa membuktikan dirinya benar. Bagi beberapa pejabat di Indonesia penjara tempatnya untuk buang sial.
Ilustrasi penjara |
Berikut beberapa kasus yang membuktikan bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul jika mengarah ke atas.
Di Barabai, Kalimantan Selatan. Seorang kakek berumur 69 tahun. Warga Desa Kayu Rabah RT. 8 RW. 3 diamankan polisi. Karena kedapatan membuka lahan dengan cara membakar lahan di kawasan Hutan Kapuk Besar RT 4 RW 1 Kecamatan Pandawan.
Pada kasus yang lain, seorang pemuda berumur 24 tahun lulusan SD tertangkap tangan tengah membuka lahan untuk bertani dengan cara dibakar di Jalan Melati Desa Bitahan Kecamatan Lokpaikat, Tapin.
Sama halnya dengan Mulyadi, ia dipidana karena membakar lahan untuk menanam jagung dan kacang di Dusun Tawar, Desa Sungai Kupang, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Selain 3 kasus di atas sebenarnya masih banyak deretan kasus yang terlihat jelas bahwa hukum laksana belati, tajam ke bawah namun tumpul di bagian atasnya.
Di daerah Kabupaten Murung Raya. Ada peladang suku Dayak yang hanya hidup dari hasil cocok tanam padi untuk menghidupi keluarganya, terpaksa mendekam di penjara karena pembakaran lahannya dianggap membuat kabut asap makin berkepanjangan.
Untuk sekadar informasi singkat. Tradisi Manugal di suku Dayak sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Manugal dalam bahasa Dayak Ngaju berarti menanam padi. Biasa dilakukan oleh para petani tradisional/peladang suku Dayak yang masih memegang teguh kedekatan dengan alam sekitar.
Ada pula kasus yang terlihat konyol, dialami oleh AH (38) warga Jalan Arut RT 26 Kelurahan Baru Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Dia bermaksud membuat bara dengan membakar arang, namun malah mengakibatkan kebakaran lahan seluas 5 hektar.
Kasus lainnya
Terlepas dari kasus pembakaran hutan dan lahan yang sedang ramai diperbincangkan, pernah juga terjadi beberapa kasus serupa yang menyayat hati.
Seorang nenek berusia 92 tahun yang divonis 1 bulan 14 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara. Penyebabnya karena sang nenek menebang pohon durian sebesar lima inci. Ia dinyatakan bersalah oleh hakim setelah menebang pohon durian milik kerabatnya.
Tahun 2015 lalu, kasus hukum yang menimpa seorang nenek berusia 63 tahun sempat menyita perhatian masyarakat Indonesia. Dia adalah Nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 ribu dan 1 hari hukuman percobaan. Nenek Asyani divonis bersalah setelah ia didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dijadikan tempat tidur.
Masih berhubungan dengan nenek-nenek. Seorang nenek warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis oleh majelis hakim dengan hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan tanpa menjalani kurungan tahanan.
Nenek bernama Minah tersebut didakwa mencuri tiga buah kakao (cokelat) di perkebunan milik perusahaan PT. Rumpun Sari Antan pada tahun 2009 lalu.
Lain lagi dengan yang dialami oleh nenek Artija. Ia dilaporkan oleh anak kandungnya sendiri dengan tuduhan mencuri 4 batang pohon. Untungnya Pengadilan Negeri Jember akhirnya menghentikan kasus tersebut lantaran sudah ada kesepakatan damai antara Nenek Arjita dengan sang anak.
Ada pula kasus yang menimpa seorang kakek berusia 62 tahun berasal dari Subang, Jawa barat. Ia dilaporkan oleh menantunya sendiri, Panji, setelah dituduh menjual tanah seluas 44 hektar dengan harga Rp 3,5 juta. Padahal tanah tersebut sudah dijual Panji pada tahun 2014 silam. Ia divonis bersalah dan harus mendekam di penjara pada tahun 2017 lalu.
Masih banyak kasus lainnya yang dapat menjadi gambaran betapa bobroknya sistem hukum kita. Jangankan untuk kasus-kasus di atas, bahkan sadar atau tidak sehari-hari pun kita sering menemukan fakta hukum yang nyeleneh.
Contohnya seperti, setiap pagi di Banjarmasin saya selalu melewati Jalan S. Parman. Di sebelah dan di seberang markas Polda Kalimantan Selatan saya sering melihat mobil yang parkir memakan badan jalan sehingga sering membuat kemacetan.
Namun hal tersebut tidak pernah ditindak. Mungkin karena pemilik mobil yang parkir sembarangan itu memiliki hubungan khusus dengan pejabat tertentu, entahlah.
Tapi jika seorang biasa yang lupa menyalakan lampu sepeda motornya di siang hari, tanpa babibu dan bermodalkan beberapa pasal langsung saja ditindak dan tidak jarang hal ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum kepolisian untuk mencari untung dalam kesialan orang lain.
Saya jadi teringat pernyataan seorang kawan "Polisi itu anak manja" maksudnya mungkin berhubungan dengan hak yang diterima oleh anggota kepolisian yang selalu diutamakan dengan atau tanpa seragam yang dipakainya.
Namun ketika menjalankan amanat negara ia enggan dan bahkan terkesan ogah-ogahan menjalankan kewajibannya. Tidak jarang kita temui yang mengatur lalu lintas di jalan raya bukanlah dari kepolisian, melainkan warga biasa yang diberi seragam. (padahal polisi mempunyai SATLANTAS)
Di mata awam seperti saya, terlihat SATLANTAS tugasnya hanya membuat SIM (itu pun harus dilakukan dengan cara yang tidak wajar, walaupun terselubung dan sudah jadi rahasia umum).
Razia, tilang, dan nongkrong di dalam pos yang kacanya jika dilihat dari luar kita bisa jadikan sebagai cermin. Hanya beberapa dari banyak polisi yang saya pernah temui benar-benar seorang polisi.
Saya rasa tulisan ini agak mulai meranyau, dan jika saya teruskan akan bersifat provokatif. Jam hampir menunjukkan pukul 1 pagi. Jari saya sudah agak letih, dan pikiran sudah mulai kosong, tapi rasa kantuk belum juga datang. Ada baiknya saya sudahi saja tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar