About

Desainer grafis “karya atau produk”

Menatap ke depan layar monitor dengan penuh hampa walau hari ini baru terima gaji, tapi tetap saja merasa kurang dengan apa yg ada. Aku hanya bisa mengucapkan alhamdulillah saja. Sudah beberapa minggu ini tak ada lagi meng-update tulisan di blog ini. Mungkin karena malas dan segala hal sehingga semua pikiran tak mampu tercurah menjadi karya digital. Sekarang hampir seluruh masyarakat Indonesia bisa sedikit lega karena kenaikan BBM ditunda menjadi 6 bulan ke depan. Tapi aku rasa hal tersebut tidak berpengaruh sama sekali. Tetap saja premium eceran masih mahal dan pom SPBU masih saja dipenuhi oleh pengecer. Indonesia, negeri miskin yg tenggelam oleh sumber daya alam yg begitu kaya. Hanya mereka yg punya kekuasaanlah yg mampu bertahan. Negara ini layaknya rimba yg buas. Siapa kuat dia yg menang. Banyak orang berlomba2 ingin menjadi tarzan, penguasa negeri rimba ini. Hukum dapat dibeli dengan uang, yg salah dibenarkan dan yg benar mampu dipersalahkan Cuma karena duit. Nepotisme merajalela jangankan di pemerintahan. Di kampus, tempat berkumpulnya para intelektual muda pun nepotisme berjalan dengan sangat rapi walau sedikit berantakan. Tak ada yg berani bertindak, semua mulut yg ingin mengungkap kebenaran dipasung oleh ketamakan. Tamak akan harta, tamak akan kekuasaan, tamak akan nilai yg nantinya diberikan oleh dosen. Itulah mahasiswa. Seorang pengecut yg berpura2 menjadi idealis. Aku lebih suka kepada mahasiswa yg masa bodoh dengan kampusnya, daripada mereka yg koar2 tak jelas dan penuh kolusi.
Ya sudahlah, hal itu tak terlalu penting karena tak semua mahasiswa seperti itu. Lebih baik sekarang berbicara tentang nyari duit, bekerja. Kata orang bekerja itu adalah ibadah. Tapi harus kerja yg halal. Kerjaan yg sekarang ku geluti ialah menjadi seorang desainer grafis.
Awalnya pekerjaan ini bukanlah pekerjaan, melainkan hobi. Hobi yg tumbuh karena perasaan ingin menuangkan karyanya dalam bentuk digital. Sejelek apapun karya, itu tak mampu dinilai dengan uang. Walau pada akhirnya karya itu harus dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang manusia.
Istilah Desainer grafis tidak muncul dengan sendirinya. Pada awalnya tak ada yg namanya desainer grafis karena mereka hanya bagian kecil dari proses produksi. Perusahaan2 tak mengenal istilah “karya” mereka hanya tahu “produk”. Pada dasarnya karya dan produk itu berbeda tapi seiring perkembangan zaman banyak desainer muda yg lupa bahwa perkerjaan mereka ialah berkarya bukan untuk menghasilkan produk. Istilah desainer grafis mulai muncul di dalam industri media cetak, dan lama kelamaan sesuai kebutuhan pasar mereka memisah.
Menjadi seorang desainer tak harus memiliki ijazah yg terlalu tinggi, cukup bisa mengoperasikan perangkat2 lunak yg berhubungan dengan desain grafis.
Desainer, hampir seluruh kesehariannya di depan komputer, matanya tak penat memandang layar tajam komputer. Di mata atasan, mereka akan berguna ketika mampu menghasilkan karya yg bernilai tinggi. Tangan mereka lincah bergerak memainkan papan keyboard dan mouse sebagai alat pahatnya. Tapi kelincahan mereka bukan karena mereka mahir, akan tetapi karena mereka tahu masih banyak customer yg menanti mereka untuk dilayani. Kecepatan mereka menyelesainkan sebuah karya dan terus bertanya “bagaimana?” bukan karena mereka ingin cepat2 menyelesaikan karyanya. Mereka hanya tak ingin para customer membayar terlalu mahal dengan jasa yg mereka berikan. Mata mereka tajam, bukan berarti mereka tak senang ataupun marah ketika berhadapan dengan customer akan tetapi karena mereka berusaha menyesuaikan pencitraan cahaya yg keluar dari mata mereka dengan hasil yang akan dicetak nantinya. Mereka hanya tak ingin para customer kecewa dengan karyanya. Tapi sayang masih banyak orang2 di luar sana yg kurang bisa menghargai karya mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar