About

elfaqar -  Beberapa waktu yang lalu mencuat di media soal seorang mahasiswi yang berurusan dengan pihak berwajib karena diduga terpapar radikalisme. Pasalnya ia mendebat soal pancasila, serta mempertanyakan eksistensi pancasila, terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini.

Pancasila, Pandemi dan Mahasiswi yang Terpapar Radikalisme


Kenapa hal ini bisa terjadi?


Apakah pemerintah dan aparat terlalu berlebihan menanggapi hal tersebut?


Mari kita kupas secara perlahan.


Dulu sewaktu masih kuliah, saya masih ingat pernah melihat seorang kawan mendebat pancasila di sebuah ruang diskusi.


Kebetulan saat itu mata kuliah yang diajarkan adalah Kewarganegaraan. Tentu saja yang menjadi bahan perdebatan adalah soal pancasila.


Menurutnya pancasila tidak relevan dengan kehidupan bernegara yang sedang terjadi. Terjadinya ketimpangan sosial menunjukkan, bahwa pengamalan sila ke empat hanya sekadar simbol belaka.


Apakah mengkritisi hal tersebut dianggap sebagai suatu hal yang radikal?


Ya, kala itu berpikir secara radikal sangat dibutuhkan di ruang diskusi.


Namun, setelah selesai diskusi tidak ada terjadi apa-apa, apalagi berurusan dengan pihak berwenang.


Apa poin yang ingin saya sampaikan?


Kita sekarang hidup di zaman era keterbukaan informasi, dimana semua informasi sangat mudah didapat dan disampaikan melalui media internet.


Terlebih dengan adanya UU ITE di Indonesia, yang mana peraturan tersebut dapat menjadi buah simalakama. Inilah yang menyebabkan seorang mahasiswi ULM berurusan dengan pihak berwenang.


Berbeda dengan belasan tahun yang lalu, dimana informasi hanya terkungkung di dalam suatu wadah, yaitu media massa (koran, radio, televisi, dll).


Di masa itu, untuk menyebarkan suatu informasi kita harus memiliki media yang cukup berpengaruh di dalam khalayak ramai. Setidaknya ada organisasi ataupun lembaga sebagai tempat kita berlindung jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.


Sekarang, tidak ada dinding pemisah antara khalayak ramai dan pendapat yang kita keluarkan. Setiap dari kita dengan mudahnya menyalurkan pendapat tentang segala hal. Namun sayangnya, kita kadang kebablasan.


Kembali ke ruang diskusi belasan tahun yang lalu.


Ketika itu, substansial pembahasan hanya cukup sampai di kampus, tidak pernah bocor ke ruang publik. Lalu, berbicara tentang radikalisme. Saya rasa dulu lebih radikal ketimbang sekarang, yang berbeda hanya ruangnya saja.


Bahkan saya sendiri secara pribadi pernah memprotes kebijakan kampus yang mewajibkan mahasiswa untuk pergi KKN ke Bali, karena saya tahu ketika itu tidak semua orang yang berkuliah itu kaya. Ada yang hanya mengandalkan dari uang beasiswa, ada pula yang hanya mengandalkan dari hasil penjualan tanah ayah dan ibunya di kampung.


Oleh karena itu, saya memilih untuk berpikir radikal. Saya luapkan protes ke dalam secarik kertas yang kemudian saya perbanyak dan ditempel di setiap belakang pintu WC. Hasil yang didapat? Saya mendapatkan sentimen yang cukup negatif dari beberapa orang dosen.


Kala itu, banyak pikiran radikal yang berkeliaran di kampus. Namun itu hanya sebatas di kampus.


Kasus mahasiswi yang sekarang sedang terjadi berbeda, ia berkoar di media yang seluruh dunia bisa melihatnya. Setiap kalimat yang dilontarkannya di dalam video tersebut menjadi amunisi yang terus menerus memborbardir pikiran mereka yang melihatnya.


Namun ia lupa, benteng pertahanannya cukup lemah. Pada akhirnya ia harus berurusan dengan hal yang di luar batas kemampuannya.


Di publik ia memang terlihat seperti seorang pahlawan yang sedang memperjuangkan kebenaran, namun seorang koboy pun akan lari terbirit-birit jika menghadapi satu pleton pasukan tempur yang bersenjata lengkap. Taktik gerilya tidak akan mampu untuk melawannya.


Sebaiknya, mahasiswa lebih mampu mengontrol ‘keradikalannya’ dengan perhitungan yang cermat. Satu hal yang perlu diingat, kita hidup di zaman yang berbeda dimana arus informasi melaju dengan kencang seperti di jalan tol tanpa batas. Maka, bijaklah berkendara.

Pancasila, Pandemi dan Mahasiswi yang Terpapar Radikalisme

elfaqar -  Beberapa waktu yang lalu mencuat di media soal seorang mahasiswi yang berurusan dengan pihak berwajib karena diduga terpapar radikalisme. Pasalnya ia mendebat soal pancasila, serta mempertanyakan eksistensi pancasila, terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini.

Pancasila, Pandemi dan Mahasiswi yang Terpapar Radikalisme


Kenapa hal ini bisa terjadi?


Apakah pemerintah dan aparat terlalu berlebihan menanggapi hal tersebut?


Mari kita kupas secara perlahan.


Dulu sewaktu masih kuliah, saya masih ingat pernah melihat seorang kawan mendebat pancasila di sebuah ruang diskusi.


Kebetulan saat itu mata kuliah yang diajarkan adalah Kewarganegaraan. Tentu saja yang menjadi bahan perdebatan adalah soal pancasila.


Menurutnya pancasila tidak relevan dengan kehidupan bernegara yang sedang terjadi. Terjadinya ketimpangan sosial menunjukkan, bahwa pengamalan sila ke empat hanya sekadar simbol belaka.


Apakah mengkritisi hal tersebut dianggap sebagai suatu hal yang radikal?


Ya, kala itu berpikir secara radikal sangat dibutuhkan di ruang diskusi.


Namun, setelah selesai diskusi tidak ada terjadi apa-apa, apalagi berurusan dengan pihak berwenang.


Apa poin yang ingin saya sampaikan?


Kita sekarang hidup di zaman era keterbukaan informasi, dimana semua informasi sangat mudah didapat dan disampaikan melalui media internet.


Terlebih dengan adanya UU ITE di Indonesia, yang mana peraturan tersebut dapat menjadi buah simalakama. Inilah yang menyebabkan seorang mahasiswi ULM berurusan dengan pihak berwenang.


Berbeda dengan belasan tahun yang lalu, dimana informasi hanya terkungkung di dalam suatu wadah, yaitu media massa (koran, radio, televisi, dll).


Di masa itu, untuk menyebarkan suatu informasi kita harus memiliki media yang cukup berpengaruh di dalam khalayak ramai. Setidaknya ada organisasi ataupun lembaga sebagai tempat kita berlindung jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan.


Sekarang, tidak ada dinding pemisah antara khalayak ramai dan pendapat yang kita keluarkan. Setiap dari kita dengan mudahnya menyalurkan pendapat tentang segala hal. Namun sayangnya, kita kadang kebablasan.


Kembali ke ruang diskusi belasan tahun yang lalu.


Ketika itu, substansial pembahasan hanya cukup sampai di kampus, tidak pernah bocor ke ruang publik. Lalu, berbicara tentang radikalisme. Saya rasa dulu lebih radikal ketimbang sekarang, yang berbeda hanya ruangnya saja.


Bahkan saya sendiri secara pribadi pernah memprotes kebijakan kampus yang mewajibkan mahasiswa untuk pergi KKN ke Bali, karena saya tahu ketika itu tidak semua orang yang berkuliah itu kaya. Ada yang hanya mengandalkan dari uang beasiswa, ada pula yang hanya mengandalkan dari hasil penjualan tanah ayah dan ibunya di kampung.


Oleh karena itu, saya memilih untuk berpikir radikal. Saya luapkan protes ke dalam secarik kertas yang kemudian saya perbanyak dan ditempel di setiap belakang pintu WC. Hasil yang didapat? Saya mendapatkan sentimen yang cukup negatif dari beberapa orang dosen.


Kala itu, banyak pikiran radikal yang berkeliaran di kampus. Namun itu hanya sebatas di kampus.


Kasus mahasiswi yang sekarang sedang terjadi berbeda, ia berkoar di media yang seluruh dunia bisa melihatnya. Setiap kalimat yang dilontarkannya di dalam video tersebut menjadi amunisi yang terus menerus memborbardir pikiran mereka yang melihatnya.


Namun ia lupa, benteng pertahanannya cukup lemah. Pada akhirnya ia harus berurusan dengan hal yang di luar batas kemampuannya.


Di publik ia memang terlihat seperti seorang pahlawan yang sedang memperjuangkan kebenaran, namun seorang koboy pun akan lari terbirit-birit jika menghadapi satu pleton pasukan tempur yang bersenjata lengkap. Taktik gerilya tidak akan mampu untuk melawannya.


Sebaiknya, mahasiswa lebih mampu mengontrol ‘keradikalannya’ dengan perhitungan yang cermat. Satu hal yang perlu diingat, kita hidup di zaman yang berbeda dimana arus informasi melaju dengan kencang seperti di jalan tol tanpa batas. Maka, bijaklah berkendara.

1 komentar: