elfaqar.blogspot.com - Perpindahan Ibu Kota dari Jakarta secara normatif merupakan hal yang positif, bagus, dan lebih terkesan baik-baik saja. Namun ada beberapa hal perlu kita perhatikan, dan harus menjadi pertimbangan lebih awal oleh pemerintah.
Tentang masalah perekonomian, pengangguran, pendidikan, dan sebagainya. Saya rasa itu hal yang lebih bisa menjadi prioritas untuk dilaksanakan, ketimbang memutuskan untuk memindah ibu kota negara.
Berikutnya mengenai pendanaan. Menurut beberapa kabar beredar di media massa, dana yang dibutuhkan untuk perealisasian rencana pemindahan ibu kota ini sekitar 466 trilyun. Uang sebanyak itu bukanlah jumlah yang sedikit. Jangan sampai nantinya sumber dana yang digunakan berasal dari berhutang. Sementara hutang yang sekarang saja sudah sangat membebani.
Jejak Perpindahan Ibu Kota
Jika kita berkaca kepada sejarah tentang Ibu Kota di Indonesia. Jakarta, bahkan sejak masih bernama Batavia pada masa Hindia Belanda sudah menjadi pusat pemerintahan.
Walaupun di awal abad ke-20 ada upaya oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memindah lokasi pemerintahan dari Batavia ke Bandung. Namun gagal karena depresi besar dan Perang Dunia ke 2.
Pada tahun 1945, setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Secara de facto, Jakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia.
4 Januari 1946, terjadi perpindahan ibu kota secara mendadak dan diam-diam ke Yogyakarta. Saat itu Jakarta diduduki oleh NICA. Berselang 2 tahun kemudian, yakni pada 19 Desember 1948. Yogyakarta diserang oleh pasukan militer Belanda dalam Agresi Militer Belanda II.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Sjafruddin Prawiranegara mendapat amanat untuk membentuk pemerintahan darurat di Bukittinggi yang dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Sekitar 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan amanat pemerintahan negara dan membubarkan PDRI secara resmi pada 13 Juli 1949.
Yogyakarta kemudian menjadi ibu kota Republik Indonesia, yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk pada 27 Desember 1949.
Sebulan kemudian 17 Agustus 1949 RIS dibubarkan. Secara de facto, Jakarta kembali menjadi ibu kota.
28 Agustus 1961, keluar Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 yang menyatakan Jakarta secara de jure sebagai ibu kota. Status tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964.
26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur. Ibu kota baru tersebut akan dibangun di antara Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pemerintah menargetkan akan dapat digunakan pada tahun 2024 mendatang.
Entah ini menjadi sesuatu yang menggembirakan atau menyedihkan bagi saya selaku orang asli Kalimantan. Secara pembangunan, pemindahan ibu kota ke pulau Kalimantan membuka peluang baru terhadap beberapa kota di sekitarnya untuk bisa lebih berkembang.
Namun di sisi lain secara etika lingkungan hidup. Pindahnya ibu kota akan mengganggu habitat asli di pulau Kalimantan. Ada pesimistik di dalam optimisme pikiran saya pribadi.
Mungkin dikarenakan teknologi yang semakin canggih sekarang dan melihat beberapa contoh nyata dampak negatif dari pembangunan.
Saya takut tidak bisa lagi menghirup udara segar setiap habis subuh di kampung nanti.
Saya takut jika jalan yang selalu saya lewati tidak lagi berwarna hijau karena sawah dan biru karena langit dan laut.
Saya juga takut jika paru-paru Republik ini hanya akan menjadi cerita dongeng buat anak dan cucu saya kelak
Saya pun takut jika kultur para tetangga dan orang di sekitar kelak akan berubah seperti syair lagu bang H. Oma yang berjudul "ibu kota".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar