elfaqar.blogspot.com - Banjarmasin, rasa-rasanya saya sudah lama berada di kota ini. Terhitung sejak 2007 lalu. Ketika berniat datang ke kota ini untuk melanjutkan pendidikan. Kuliah di perguruan tinggi negeri, mengikuti keinginan ayah yang kini sudah tiada. Akan tetapi, hal itu kandas.
Menara Pandang Siring, Banjarmasin |
Banjarmasin benar-benar kota yang metropolis. Menawarkan beragam janji kepada para pendatang. Contohnya saja adik tingkat saya di kampus dulu.
Dia sudah lulus kuliah, namun ketika ditanya "apakah nanti akan pulang kampung saat sudah lulus?" Dia menjawab dengan mantap, bahwa ia akan menetap di Banjarmasin.
Alasannya karena di kampungnya akses internet lumayan sulit. Nampaknya ia sudah terbiasa dengan kehidupan di kota ini.
Banjarmasin bukan kota yang terlalu besar, namun bisa dibilang bahwa Banjarmasin di Kalimantan Selatan dianggap sebagai "Jakarta-nya" Kalsel oleh sebagian besar orang yang tinggal di kampung.
Mungkin saja karena statusnya sebagai ibukota provinsi. Tidak heran banyak sekali pendatang dari berbagai daerah di Kalsel yang mencoba mengadu nasib di kota ini. Bahkan pendatang dari luar pulau Kalimantan pun banyak beradu peruntungan di sini.
Menurut kabar yang beredar, Ibu Kota Indonesia akan dipindahkan di pulau ini. Entah di bagian tengah atau di bagian selatannya. Hal tersebut sudah positif dan akan benar-benar direalisasikan. Bahkan angka anggarannya sudah dipersiapkan. Benar-benar matang.
Hari ini Senin 29 Juli 2019. Berbicara tentang kehidupan metropolitan di Banjarmasin. Saya tidak begitu mempedulikannya.
Kehidupan yang menurut saya cukup glamor di sini tidak mempengaruhi aktivitas saya sehari-hari. Entah karena saya yang tidak peduli atau mungkin karena tidak bisa mengikutinya.
Nonton Bioskop
Kurang lebih 12 tahun tinggal di kota ini. Ini adalah pertama kali saya menonton film di bioskop, tepatnya hari Sabtu kemarin. Ya... agak kudet memang tapi itulah saya.
Saya lebih senang menonton film bajakan yang ada di internet, karena murah dan gampang diakses. Berbeda dengan beberapa teman di sekitar saya.
Mereka rela menghabiskan uang beberapa puluh ribu hanya untuk sebuah film dengan suara yang menggema di telinga dan penerangan yang begitu redup. Menurut saya uang segitu bisa dipakai untuk makan beberapa hari.
Pengalaman saya saat pertama kali nonton film di bioskop, biasa saja. Hanya layar yang besar dan suara yang menggema di telinga. Lampu penerangannya sengaja dimatikan, mungkin supaya mata penonton lebih fokus tertuju pada film.
Sekarang saya tahu kenapa perbuatan mesum yang dibicarakan orang-orang sering terjadi di bioskop.Benar kata Bang Napi "kejahatan bukan terjadi karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan".
Kesan yang terlalu biasa ini saya lupakan saja, toh saya nonton film secara gratis. Kebetulan produser film tersebut ialah bos tempat saya bekerja sekarang. Nama filmnya "Koboy Kampus".
Awalnya saya tidak mengira bahwa film ini akan diproduseri oleh orang asli Kalimantan Selatan. Setahu saya Pidi Baiq adalah orang Bandung. Sebelumnya, saya memang sudah menyukai lagu-lagu The Panasdalam. Saya sering mendengarkannya saat kuliah dulu.
Saya tidak menyangka bahwa sekarang lagu-lagu tersebut dijadikan film. Saat menonton, ketika musik dimainkan, saya agak bergumam mengikuti lirik lagunya.
Bagi saya ini menjadi nostalgia tersendiri ketika mendengar lagunya. Saya jadi teringat kepada kawan-kawan yang dulu pernah sama-sama berjuang saat kuliah dan berorganisasi di kampus.
Dalam hati saya "seandainya saya menonton bersama mereka, mungkin lebih menyenangkan".
Walaupun filmnya bergenre drama musikal, namun saya agak haru mengingat kenangan bersama lagu-lagu yang dibawakannya.
Sesekali film tersebut disisipi komedi, yang mungkin hanya sebagian orang bisa menangkapnya dan ikut tertawa di dalamnya.
Poster film Koboy Kampus |
Sepanjang film saya agak heran dengan alur dan plot ceritanya. Ternyata setelah konferensi pers barulah saya paham. Film ini memang hanya mengambil beberapa sketsa dari kehidupan Pidi Baiq, maka dari itu tidak terjadi klimaks yang begitu kuat di dalamnya. Itu yang dikatakan Tubagus Deddy selaku Sutradara dari film "Koboy Kampus".
Ada sebuah adegan yang cukup memberi kesan bagi para penonton yang berasal dari Banjarmasin. Ketika scene yang memunculkan kearifan lokal khas kota Banjarmasin yang dikenal dengan sebutan kota seribu sungai.
Seorang penjahit yang mengantarkan pesanan jahitannya kepada pelanggan menggunakan jukung. Saya tidak akan mengomentari bagaimana aktingnya, karena saya bukan kritikus film. Saya hanya seorang penyuka film biasa dan penggemar biasa dari grup band The Panasdalam.
Pada akhirnya saya cukup menikmati nonton film di bioskop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar