About

Kampus, Dosen Killer dan Organisasi Mahasiswa


elfaqar.blogspot.com - Berkecamuk dan memuncak keramaian di kampus ini. Berbicara masalah kampus, selalu saja identik dengan mahasiswa yang pulang dan pergi. 

Di balik itu semua, benarkah mahasiswa berada di bawah tekanan para dosen yang terkenal killer. Killer di sini bukan berarti memiliki insting pembunuh atau pun ganas layaknya binatang buas. Saya rasa tidak perlu menjelaskan apa arti dari istilah killer tersebut. 

Akan tetapi masih saja ada dosen yang memiliki pandangan sempit mengenai arti dari ironi tersebut. Mungkin saja kata killer terlalu hiperbola apabila dicermati melalui tata bahasa EYD. 

Saya rasa kata itu sudah terlalu umum, layaknya tabu yang menjadi biasa. Ya sudahlah, tak ada habisnya jika hanya membahas satu kata saja.

Berbicara tentang kehidupan di kampus. Saya teringat akan obrolan ringan bersama seorang rekan kerja. Dia beranggapan organisasi di kampus itu merupakan kesia-siaan. Mungkin saja karena perbedaan lingkungan di kampusnya. 

Dia memang berkuliah di sebuah perguruan tinggi yang tergolong swasta dan lebih mengutamakan pengalaman kerja dibanding pengalaman organisasi. 

Lain halnya apabila kita meminta pendapat tentang organisasi di sebuah kampus negeri. Tentu saja 7 dari 10 orang akan berkata bahwa organisasi di kampus itu penting. 

Namun sayangnya, kesungguhan di dalam mengikuti kegiatan organisasi di kampus kini dicemari oleh sebuah peraturan yang dibuat oleh masing-masing program studi tempat para mahasiswa ini mengeksplorasi ilmu. 

Sebuah aturan yang mewajibkan para mahasiswa untuk mengikuti salah satu organisasi sebagai syarat pengambilan mata kuliah skripsi di akhir semester. 

Pada akhirnya keputusan yang di ambil dalam berorganisasi lebih banyak dipolitisir oleh niat-niat yang lebih mengutamakan nilai hitam di atas putih saja. Kemudian organisasi itu tidak lagi memiliki rasa kekeluargaan yang mengikat. Hanya menjadi tempat persinggahan para musafir pencari nilai tinggi dari dosen. 

Di dalam tulisan ini, saya tidak sedang memperolok keputusan yang diambil oleh para mahasiswa dalam berorganisasi. Akan tetapi, saya hanya menyayangkan ketetapan yang diturunkan oleh para pejabat kampus. Perguruan tinggi seolah-olah menjadi seperti panci bertekanan tinggi yang di dalamnya ada air mendidih. 

Melihat dari kacamata pribadi. Organisasi di kampus mungkin saja akan habis riwayatnya, karena para intelegensia kini sedang sibuk membangun partainya masing-masing.

Kampus dan Organisasi Mahasiswa

Kampus, Dosen Killer dan Organisasi Mahasiswa


elfaqar.blogspot.com - Berkecamuk dan memuncak keramaian di kampus ini. Berbicara masalah kampus, selalu saja identik dengan mahasiswa yang pulang dan pergi. 

Di balik itu semua, benarkah mahasiswa berada di bawah tekanan para dosen yang terkenal killer. Killer di sini bukan berarti memiliki insting pembunuh atau pun ganas layaknya binatang buas. Saya rasa tidak perlu menjelaskan apa arti dari istilah killer tersebut. 

Akan tetapi masih saja ada dosen yang memiliki pandangan sempit mengenai arti dari ironi tersebut. Mungkin saja kata killer terlalu hiperbola apabila dicermati melalui tata bahasa EYD. 

Saya rasa kata itu sudah terlalu umum, layaknya tabu yang menjadi biasa. Ya sudahlah, tak ada habisnya jika hanya membahas satu kata saja.

Berbicara tentang kehidupan di kampus. Saya teringat akan obrolan ringan bersama seorang rekan kerja. Dia beranggapan organisasi di kampus itu merupakan kesia-siaan. Mungkin saja karena perbedaan lingkungan di kampusnya. 

Dia memang berkuliah di sebuah perguruan tinggi yang tergolong swasta dan lebih mengutamakan pengalaman kerja dibanding pengalaman organisasi. 

Lain halnya apabila kita meminta pendapat tentang organisasi di sebuah kampus negeri. Tentu saja 7 dari 10 orang akan berkata bahwa organisasi di kampus itu penting. 

Namun sayangnya, kesungguhan di dalam mengikuti kegiatan organisasi di kampus kini dicemari oleh sebuah peraturan yang dibuat oleh masing-masing program studi tempat para mahasiswa ini mengeksplorasi ilmu. 

Sebuah aturan yang mewajibkan para mahasiswa untuk mengikuti salah satu organisasi sebagai syarat pengambilan mata kuliah skripsi di akhir semester. 

Pada akhirnya keputusan yang di ambil dalam berorganisasi lebih banyak dipolitisir oleh niat-niat yang lebih mengutamakan nilai hitam di atas putih saja. Kemudian organisasi itu tidak lagi memiliki rasa kekeluargaan yang mengikat. Hanya menjadi tempat persinggahan para musafir pencari nilai tinggi dari dosen. 

Di dalam tulisan ini, saya tidak sedang memperolok keputusan yang diambil oleh para mahasiswa dalam berorganisasi. Akan tetapi, saya hanya menyayangkan ketetapan yang diturunkan oleh para pejabat kampus. Perguruan tinggi seolah-olah menjadi seperti panci bertekanan tinggi yang di dalamnya ada air mendidih. 

Melihat dari kacamata pribadi. Organisasi di kampus mungkin saja akan habis riwayatnya, karena para intelegensia kini sedang sibuk membangun partainya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar