Selasa 9 September 2025, siang ini tidak terlalu panas, namun tidak juga turun hujan. Sesuai dengan prakiraan cuaca dari BMKG bahwa bulan ini hujan akan turun, langit berawan, dan udara kabur. Sepertinya musim panas sudah lewat.
Sayangnya di Banjarmasin mau iklim seperti apapun, selalu terdengar sirine pemadam kebakaran. Ya, kebakaran selalu terjadi di Banjarmasin.
Orang-orang lebih suka menyalahkan arus pendek listrik yang mengakibatkan korsleting sebagai penyebab kebakaran, ketimbang mengevaluasi dan mencari solusi.
Dari sisi mistis, mungkin saya akan berpikir lebih radikal. Jangan-jangan ada sesuatu yang salah dengan kota Banjarmasin.
Bayangkan, hampir setiap minggu selalu ada musibah kebakaran. Bahkan tak jarang dalam sehari bisa dua hingga tiga kejadian kebakaran di Banjarmasin.
Mungkinkah kota ini terkena tulah, sejenis kutukan orang dari masa lampau yang mungkin saja tidak diceritakan oleh orang-orang tua kita dulu. Entahlah.
Saya rasa menyalahkan lebih mudah daripada introspeksi diri.
Kenapa pemerintah kota tidak pernah mengevaluasi kejadian-kejadian seperti ini?
Bahkan terkesan membiarkan, seolah-olah kebakaran di Banjarmasin seperti bencana alam yang tidak bisa dihindari.
Saya masih ingat sekali sekitar tahun 2007, merantau ke Banjarmasin. Di tengah hari bolong, saat sedang tidur di kamar kos berukuran 3x4 meter, saya dikejutkan dengan bunyi sirine.
Cepat tanggap dan respons para relawan damkar terhadap kebakaran memang tidak perlu diragukan lagi. Super cepat, was wes wos. Meluncur laksana prajurit perang ke medan pertempuran.
Namun hal aneh mulai terjadi, besoknya ada lagi kebakaran. Setelah berminggu dan berbulan-bulan di Banjarmasin, saya mulai terbiasa.
Sejenak saya berpikir, jika saja pemerintah mau mengevaluasi kejadian-kejadian kebakaran yang kerap terjadi, saya rasa mereka akan menemukan solusinya.
Sayangnya, para pejabat tidak terlalu peduli dengan hal remeh dan solusi untuk rakyatnya. Mereka lebih senang kegiatan-kegiatan yang bisa menunjang citra baik di depan masyarakat.
Apalagi di zaman keterbukaan informasi seperti sekarang, mereka, para pejabat kota lebih suka sibuk di depan kamera. Berpose seolah menyatu dengan rakyatnya.
Saya rasa saat ini kita sedang hidup dalam dunia yang serba terbalik dan penuh kepura-puraan.
Internet dan sosial media membuat hal itu semakin membesar. Bahkan kehadiran Generative AI semakin memperkeruh suasana.
Orang-orang bisa dengan mudah membuat sebuah situasi yang palsu hanya dari prompt yang mereka kirim ke AI.
Jika 20 tahun lalu dunia maya hanya diisi oleh orang-orang nerd, kini semua orang menjadi nerd.
Batas antara dunia maya dan nyata semakin tipis. Orang-orang bisa saling tikam hanya karena berselisih di grup WA.
Kepura-puraan semakin menjadi-jadi ketika bahasa antar manusia tidak bisa lagi menjadi alat pemersatu.
Orang-orang mudah tersinggung hanya karena berbeda pendapat. Bahkan tak jarang kita terpaksa menyematkan emoticon senyum untuk menjaga suasana.
Begitulah jika kita hidup dalam kepura-puraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar