About

netizen

elfaqar - Beberapa waktu belakangan, Presiden Jokowi membuat pengumuman tentang penggratisan tarif listrik selama 3 bulan (April, Mei, Juni). Saya pun sempat membuat tulisan berita tentang itu. Tentu saja dengan mengutip sumber yang valid. Namun, bukan netizen +62 namanya kalau tidak kontroversi.

Postingan tersebut saya bagikan di beberapa grup di sosial media. Hingga akhirnya, postingan tersebut menuai beberapa reaksi dari para netizen. 

Ada yang senang, ada yang bingung, dan ada pula mencaci tidak jelas. Bahkan di dalam kolom komentar lebih banyak menyudutkan Presiden Jokowi.

Saya bukan pendukung Jokowi. Namun saya pun tidak menolak dia sebagai pemimpin negeri ini. Menurut saya, siapa pun yang memimpin hasilnya akan sama saja jika yang dipimpin ialah manusia +62.

Di salah satu grup yang saya bagikan, postingan tersebut mendapatkan banyak reaksi. Tertawa dan suka mungkin hanya berbanding separuh. Sama rata. Namun jika kita memperhatikan komentar yang mencapai 300an itu dan sekarang masih terus bertambah. 90 persen dari komentar tersebut isinya mencaci Jokowi.

Di sini, saya bisa melihat wujud dari iblis dalam dunia digital. 

Ketika kebencian menguasai, apapun akan terlihat busuk di matanya. Itulah pikir saya terhadap beberapa akun yang berkomentar buruk tentang kabar baik bahwa listrik akan gratis untuk masyarakat yang kurang mampu.

Sepanjang hari, di dalam pikiran saya terus terheran-heran. Sebegitu bencinya kah mereka kepada Jokowi? 

Apa mungkin karena Jokowi berasal dari partai yang selama ini selalu dituding sebagai PKI gaya baru? Atau mungkin karena ia selalu dianggap berbohong ketika menjanjikan sesuatu? Entahlah pendapat umum selalu berbeda-beda. Itulah konsekuensi hidup di alam demokrasi.

Demokrasi di negeri ini memang unik. Manusianya lucu-lucu. Saya bisa memastikan kebencian yang terjadi sekarang disebabkan karena pemilu beberapa waktu yang lalu. 

Sejak 2014 tepatnya. Fitnah yang digelonjorkan dari pihak lawan akhirnya merasuk ke dalam nadi para pemilihnya hingga sekarang. 

Bahkan 2019 yang lalu, negeri ini seperti terbelah dua. Seolah hanya ada baik dan buruk. Jika di sini baik, di sana harus buruk. Jika di sana baik, di sini harus buruk. Kejamnya politik.

Olok-olokan predikat cebong dan kampret di tahun 2019 yang lalu terbawa hingga sekarang. 

Bahkan tidak sedikit dari masing-masing pendukung yang mengamini dirinya sebagai cebong atau pun kampret. Gila bukan? Bahkan orang gila pun tidak segila ini.

Kebencian yang di tanam oleh para pemain politik di masa lalu, mendarah daging hingga sekarang. Inilah pil pahit yang harus kita kunyah. 

Bagi seseorang seperti saya, mungkin tidak masalah. Mau mereka bunuh-bunuhan juga akan saya biarkan.

Saya sejak dulu sangat membenci politik di Indonesia. Bahkan sebelum kemunculan Jokowi dan Prabowo di kancah perpolitikan Indonesia. 

Kalimat yang selalu saya pegang teguh ialah "politik selalu menghalalkan segala cara". Dari kubu mana pun selalu begitu. (fix)

Netizen +62, Gila dan Kejam!

netizen

elfaqar - Beberapa waktu belakangan, Presiden Jokowi membuat pengumuman tentang penggratisan tarif listrik selama 3 bulan (April, Mei, Juni). Saya pun sempat membuat tulisan berita tentang itu. Tentu saja dengan mengutip sumber yang valid. Namun, bukan netizen +62 namanya kalau tidak kontroversi.

Postingan tersebut saya bagikan di beberapa grup di sosial media. Hingga akhirnya, postingan tersebut menuai beberapa reaksi dari para netizen. 

Ada yang senang, ada yang bingung, dan ada pula mencaci tidak jelas. Bahkan di dalam kolom komentar lebih banyak menyudutkan Presiden Jokowi.

Saya bukan pendukung Jokowi. Namun saya pun tidak menolak dia sebagai pemimpin negeri ini. Menurut saya, siapa pun yang memimpin hasilnya akan sama saja jika yang dipimpin ialah manusia +62.

Di salah satu grup yang saya bagikan, postingan tersebut mendapatkan banyak reaksi. Tertawa dan suka mungkin hanya berbanding separuh. Sama rata. Namun jika kita memperhatikan komentar yang mencapai 300an itu dan sekarang masih terus bertambah. 90 persen dari komentar tersebut isinya mencaci Jokowi.

Di sini, saya bisa melihat wujud dari iblis dalam dunia digital. 

Ketika kebencian menguasai, apapun akan terlihat busuk di matanya. Itulah pikir saya terhadap beberapa akun yang berkomentar buruk tentang kabar baik bahwa listrik akan gratis untuk masyarakat yang kurang mampu.

Sepanjang hari, di dalam pikiran saya terus terheran-heran. Sebegitu bencinya kah mereka kepada Jokowi? 

Apa mungkin karena Jokowi berasal dari partai yang selama ini selalu dituding sebagai PKI gaya baru? Atau mungkin karena ia selalu dianggap berbohong ketika menjanjikan sesuatu? Entahlah pendapat umum selalu berbeda-beda. Itulah konsekuensi hidup di alam demokrasi.

Demokrasi di negeri ini memang unik. Manusianya lucu-lucu. Saya bisa memastikan kebencian yang terjadi sekarang disebabkan karena pemilu beberapa waktu yang lalu. 

Sejak 2014 tepatnya. Fitnah yang digelonjorkan dari pihak lawan akhirnya merasuk ke dalam nadi para pemilihnya hingga sekarang. 

Bahkan 2019 yang lalu, negeri ini seperti terbelah dua. Seolah hanya ada baik dan buruk. Jika di sini baik, di sana harus buruk. Jika di sana baik, di sini harus buruk. Kejamnya politik.

Olok-olokan predikat cebong dan kampret di tahun 2019 yang lalu terbawa hingga sekarang. 

Bahkan tidak sedikit dari masing-masing pendukung yang mengamini dirinya sebagai cebong atau pun kampret. Gila bukan? Bahkan orang gila pun tidak segila ini.

Kebencian yang di tanam oleh para pemain politik di masa lalu, mendarah daging hingga sekarang. Inilah pil pahit yang harus kita kunyah. 

Bagi seseorang seperti saya, mungkin tidak masalah. Mau mereka bunuh-bunuhan juga akan saya biarkan.

Saya sejak dulu sangat membenci politik di Indonesia. Bahkan sebelum kemunculan Jokowi dan Prabowo di kancah perpolitikan Indonesia. 

Kalimat yang selalu saya pegang teguh ialah "politik selalu menghalalkan segala cara". Dari kubu mana pun selalu begitu. (fix)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar