About

Tak ingin jadi buih

Sepertinya malam-malamku sama saja seperti malam sebelumnya, sepulang kerja melakukan hal yang sama. Dan beruntung kalau bisa langsung tertidur. Tapi sayang insomnia ini tak mau sembuh, atau mungkin aku yg tak ingin sembuh. Berkilas balik dari sebuah film keluaran perusahaan warner bersaudara, yg menceritakan tentang sifat kepahlawanan yg bermula dari keinginan untuk menegakkan kebenaran dan diawali dari melawan rasa takut. Aku jadi teringat tentang kemauan salah seorang sahabatku yg kini sudah disibukkan dengan pekerjaannya sehari2. kalau beruntung kami bertemu satu minggu sekali, jika tidak aku hanya perlu menahan rasa rinduku.
Masih terngiang rasanya ketika ia melontarkan kalimat bahwa cita2nya ingin menjadi wartawan di sebuah media ternama di pulau jawa. Tapi sepertinya cita2 itu dipendamnya saja, tak sesuai dengan jurusan kuliah yg diambilnya. Saat kutanya kembali apakah ia masih ingin jadi wartawan. Ia Cuma tersenyum dan berkata bahwa pekerjaan sekarang lebih menyenangkan dari impian di masa dahulu. Yach… cukup mengecewakan bagi orang yg kurang mampu berkomitmen sepertinya. Berbicara masalah komitmen, aku berkomitmen untuk tak ingin hidup bergantung kepada duitnya pemerintah dengan kata lain aku tak ingin pekerjaanku nanti dicampuri Negara artinya aku tak ingin menjadi pegawai negeri, mungkin beberapa mengatakan aku bodoh, tapi aku sudah berfikir matang2 dan berusaha membulatkan tekad itu. Apa gunanya kuliah sampai sarjana kalau ujung2nya Cuma menjadi beban buat Negara sudah hampir lumpuh akibat hutang yg berkepanjangan. Apa gunanya bertahun2 menimba ilmu di kampus jikalau ketika lulus hanya mampu duduk manis di depan komputer seperti robot. Tak punya kebebasan hidup yg sejati.
Tiba2 saja terlintas dikepalaku tentang biograpi seorang mahasiswa yg profilnya masuk di Koran baru2 ini. Prestasinya cukup banyak dibandingkan aku yg tak memiliki prestasi apa2 untuk dibanggakan. Tapi yg aku sayangkan ketika membaca tulisan itu di baris terakhir, ternyata cita2nya hanya menjadi seorang dosen. Sudah menjadi rahasia mahasiswa pada umumnya bahwa “apa sih yg dikerjakan dosen?”. Kita tak perlu jauh2 berbicara sampai ke pulau jawa. Di daerahku saja, hanya segelintir yg benar2 mampu memahami pikiran mahasiswa. Sisanya, seperti beban Negara yg tak kunjung punah. Yg membaca tulisan ini pastilah tahu maksudnya. Di masa muda punya prestasi yg bergelimang, akan tetapi ketika menjadi dosen. Prestasi yg dimiliki layaknya mayat hidup yg selalu membayangi memori indahnya di masa muda. Mengajar memang merupakan sesuatu hal yg mulia, akan tetapi akan lebih mulia lagi jika benar2 mampu menginterpretasikannya ke dunia nyata. Tidak hanya sekedar teori2 tentang kebutuhan hidup dan pekerjaan. Sungguh menyedihkan cita2 pemuda itu.
Pada dasarnya dimataku kehidupan layaknya air yg mengalir begitu deras, aku bisa terombang-ambing dan terpental ke dalam samudra. Akan tetapi aku pun berusaha mengendalikan arus kehidupanku dengan cara menentang semua aturan2 yg terlalu membebankan. Menyalahi prosedur kehidupan sebenarnya bukan hal yg salah. Kata “salah” tak akan berarti apa2 jika tak ada yg dirugikan, itu hanya menggambarkan sesuatu yg terjadi. Bukan menghakimi sesuatu yg terjadi. Jadi, ketika seseorang salah sebenarnya ia telah berusaha mengendalikan kehidupannya. Mencoba menjadi Poseidon di dalam derasnya arus kehidupannya. Sedangkan diriku hanya ingin menjadi orang yg punya komitmen, bukan menjadi buih di derasnya arus kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar