Kembali ke dunia nyata
Ya, setelah selesai dengan masa kontrak 6 bulan di PT GWK sekarang aku berpidah kerja menjadi graphic designer di sebuah percetakan cetakan besar. Metode kerja yang aku rasa sedikit lebih simpel dan lebih jelas ketimbang di perusahaan besar yg pernah kutempati sebelumnya.
Sekarang aku harus benar2 fokus dan konsentrasi dengan kegiatan yg sedang dan akan ku jalani. Kuliah dan bekerja. Dahulu aku fikir kedua hal itu akan mudah kujalani, tapi ternyata banyak sekali rintangannya. Sampai2 sekarang aku terlihat seperti maha siswa angkatan 2009. mungkin terlihat awet muda, tapi terlalu tua untuk menjalani kehidupan kampus.
Sedikit mengingat sekilas apa yg baru saja kualami hari ini di kampus. Mata kuliah morphology. Cukup sulit kurasa, akan tetapi salah seorang mahasiswi di belakangku nyrocos terus gak karuan. Padahal dia termasuk ke dalam golongan yg pintar tapi sayang, bagiku ia hanya terlihat seperti tong sampah yg penuh dengan barang kelontongan. Bunyinya nyaring tapi sayang isinya hanya sampah. Tidak bisa aku konsentrasi menangkap secuil ilmu dari dosen yg ada di depan kelas. Ya sudahlah, manusia itu mungkin merasa dirinya sajalah yg berada di kelas tanpa memikirkan bahwa ada 40 otak lebih yg memiliki pandangan berbeda2 tentang menangkap ilmu.
Belum selesai tentang kawan yg pintar di kampus, tiba2 saat aku baru pulang dari kampus terjadi sebuah obrolan yg begitu serius antara dua orang pengurus KINDAY. Saking seriusnya, masing2 dari mereka mengencangkan suaranya. Yach... perpecahan mulai terjadi pada masa2 genting dan subur. Yaitu saat para calon anggota mulai mendaftar. Benar2 abstrak kepengurusan tahun ini. Bibit primordialisme mulai dimunculkan dan rasa independensi yg telalu tinggi mulai mengikis arti sebenarnya kerja sama. Tak lagi memiliki visi dan tujuan yg sama. Masing2 sibuk dengan obrolannya sekitar politik di kampus, dan yg satu sibuk pula dengan kegiatan yg katanya life style di kampus. Mungkin terlalu gaul atau apalah. Tapi itulah kenyataan yg sedang terjadi disini. Di organisasi yg pada awal pembentukannya sedikit orang yg mau mengakui bahwa terlahir dengan yatim piatu. Kata yg terlalu hiperbola mungkin, mungkin lebih cenderung memalukan.
Seperti di beberapa tulisanku yang lalu kenyataan memang kurang bisa diterima dengan hati, hati manusia kebanyakan sekarang hanya mau menerima apa yg orang lain bisa terima.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar