About

Tangan Kecil Fauzi



Suasana sore di Yogyakarta kala itu begitu teduh. Matahari yang mulai condong ke barat menebarkan sinarnya lewat sela-sela jendela kayu tua di ruang kelas Sekolah Dasar Muhammadiyah. Ruangan sederhana itu dipenuhi suara lantunan ayat suci. Anak-anak duduk bersila, mushaf kecil di pangkuan, mata mereka mengikuti deretan huruf hijaiyah yang mengalir dalam bacaan.

Di barisan depan, seorang bocah bernama Fauzi terlihat begitu tekun. Tangannya kecil, wajahnya bersih, matanya jernih. Usianya baru sepuluh tahun, namun sorotnya memancarkan kedewasaan yang jarang dimiliki anak seumurannya. Sejak ayahnya meninggal beberapa bulan lalu, Fauzi semakin rajin beribadah. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia selalu mengirimkan doa untuk sang ayah yang kini beristirahat di alam keabadian.

“Bapak pasti senang kalau Fauzi rajin mengaji,” begitu katanya setiap kali ibunya menatapnya sambil menahan haru.

Fauzi bukanlah anak yang menonjol dalam hal pelajaran. Nilainya biasa saja, tubuhnya pun kurus kecil. Namun ada satu hal yang membuat semua orang mengenalnya: hatinya yang tulus. Ia selalu lebih dulu membantu teman yang kesulitan, entah sekadar meminjamkan pensil, berbagi bekal, atau menenangkan teman yang menangis.

Hari itu, suasana mengaji berjalan seperti biasa. Fauzi duduk di samping sahabatnya, Rizal, anak yang terkenal suka bercanda. Namun kali ini Rizal pun terlihat khusyuk.

“Fauzi, setelah ini kita main bola, ya,” bisik Rizal dengan senyum kecil.

Fauzi mengangguk sambil tersenyum. “Boleh, tapi jangan lupa shalat Magrib dulu. Kita main setelah itu.”

Mereka berdua terkekeh pelan, lalu kembali menunduk pada mushaf masing-masing.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dari langit-langit ruangan, terdengar bunyi krek… krek…, seperti kayu yang ditekan beban berat. Beberapa anak berhenti membaca, menoleh ke atas.“Ada apa, ya?” tanya seorang murid di barisan belakang.

Sebelum sempat ada yang menjawab, suara retakan makin keras. Debu-debu beterbangan, dan tiba-tiba saja atap kayu yang rapuh itu berguncang. Dalam sekejap, kepanikan pecah.

“Lari! Lari keluar!” teriak guru mereka, Bu Siti, dengan wajah pucat.

Anak-anak bangkit berhamburan, sebagian menangis histeris, sebagian lagi berlari tanpa arah. Fauzi terperangah, jantungnya berdegup kencang. Saat itu ia melihat balok besar ambruk tepat di dekat pintu keluar, menghalangi jalan. Teman-temannya yang ingin keluar berdesakan, panik mencari celah.

Dalam hatinya, Fauzi tahu ia harus melakukan sesuatu. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah pintu. Dengan tangan kecilnya, ia menahan balok kayu yang nyaris roboh sepenuhnya. Tubuh mungilnya bergetar, wajahnya meringis menahan sakit.

“Cepat! Keluar semua! Jangan tunggu aku!” teriaknya dengan suara parau.

Anak-anak lain berlari keluar satu per satu. Rizal sempat berhenti, menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Zi! Ayo ikut aku!”

Fauzi menggoyangkan kepalanya. “Pergi, Jal! Tolong ibu-ibu dan guru di luar. Jangan biarkan ada yang tertinggal!”

Rizal meneteskan air mata, lalu berlari keluar bersama yang lain.

Kini tinggal Fauzi sendiri di dalam kelas yang semakin porak-poranda. Debu makin tebal, suara kayu patah terdengar di mana-mana. Tangannya semakin lemah, namun ia bertahan. Dalam hatinya, ia berdoa lirih, “Ya Allah, selamatkan teman-temanku. Biar aku saja yang di sini.”

Namun tubuh mungil itu tak mampu lagi menahan. Dengan satu gemuruh keras, balok besar dan atap runtuh menimpanya. Gelap. Sunyi.

Beberapa menit kemudian, orang-orang dewasa bergegas masuk setelah memastikan anak-anak keluar. Mereka menemukan Fauzi tertimpa reruntuhan. Nafasnya tersengal, matanya setengah terpejam. Di bibirnya, masih terdengar lantunan ayat pendek yang sempat ia baca sebelum kejadian.

“Cepat! Bawa ke rumah sakit!” teriak seorang guru sambil menggendong tubuh kecil itu.

Di perjalanan, Fauzi sempat membuka matanya. Ia melihat wajah gurunya yang menangis. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Teman-temanku… mereka selamat, kan?”

Sang guru mengangguk sambil terisak. “Iya, Nak… semua selamat.”

Senyum tipis terukir di wajah Fauzi. Lalu, perlahan, matanya terpejam.

Keesokan harinya, langit Yogyakarta tampak muram, seakan ikut berduka. Di pemakaman kecil desa, tubuh Fauzi dimakamkan di samping pusara ayahnya. Puluhan anak sekolah hadir, membawa bunga, wajah mereka sembab. Rizal berdiri paling depan, menatap liang lahat itu dengan mata bengkak.

“Dia bukan hanya temanku… dia pahlawan,” bisiknya lirih.

Bu Siti, dengan suara bergetar, berkata di hadapan semua murid, “Fauzi telah mengajarkan kita arti keberanian dan ketulusan. Dengan tangan kecilnya, ia menyelamatkan nyawa teman-temannya. Semoga Allah menempatkannya bersama orang-orang yang dicintai-Nya.”

Sejak hari itu, nama Fauzi selalu dikenang di sekolah itu. Di ruang kelas yang kemudian diperbaiki, mereka memasang sebuah papan kecil bertuliskan:

“Di sini, seorang anak bernama Fauzi mengajarkan kita arti pengorbanan.”

Dan setiap kali teman-temannya membaca doa, mereka yakin Fauzi tersenyum dari tempat yang lebih indah, bersama ayahnya, dalam cahaya yang abadi.

Tangan Kecil Fauzi

Tangan Kecil Fauzi



Suasana sore di Yogyakarta kala itu begitu teduh. Matahari yang mulai condong ke barat menebarkan sinarnya lewat sela-sela jendela kayu tua di ruang kelas Sekolah Dasar Muhammadiyah. Ruangan sederhana itu dipenuhi suara lantunan ayat suci. Anak-anak duduk bersila, mushaf kecil di pangkuan, mata mereka mengikuti deretan huruf hijaiyah yang mengalir dalam bacaan.

Di barisan depan, seorang bocah bernama Fauzi terlihat begitu tekun. Tangannya kecil, wajahnya bersih, matanya jernih. Usianya baru sepuluh tahun, namun sorotnya memancarkan kedewasaan yang jarang dimiliki anak seumurannya. Sejak ayahnya meninggal beberapa bulan lalu, Fauzi semakin rajin beribadah. Setiap kali membaca Al-Qur’an, ia selalu mengirimkan doa untuk sang ayah yang kini beristirahat di alam keabadian.

“Bapak pasti senang kalau Fauzi rajin mengaji,” begitu katanya setiap kali ibunya menatapnya sambil menahan haru.

Fauzi bukanlah anak yang menonjol dalam hal pelajaran. Nilainya biasa saja, tubuhnya pun kurus kecil. Namun ada satu hal yang membuat semua orang mengenalnya: hatinya yang tulus. Ia selalu lebih dulu membantu teman yang kesulitan, entah sekadar meminjamkan pensil, berbagi bekal, atau menenangkan teman yang menangis.

Hari itu, suasana mengaji berjalan seperti biasa. Fauzi duduk di samping sahabatnya, Rizal, anak yang terkenal suka bercanda. Namun kali ini Rizal pun terlihat khusyuk.

“Fauzi, setelah ini kita main bola, ya,” bisik Rizal dengan senyum kecil.

Fauzi mengangguk sambil tersenyum. “Boleh, tapi jangan lupa shalat Magrib dulu. Kita main setelah itu.”

Mereka berdua terkekeh pelan, lalu kembali menunduk pada mushaf masing-masing.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Dari langit-langit ruangan, terdengar bunyi krek… krek…, seperti kayu yang ditekan beban berat. Beberapa anak berhenti membaca, menoleh ke atas.“Ada apa, ya?” tanya seorang murid di barisan belakang.

Sebelum sempat ada yang menjawab, suara retakan makin keras. Debu-debu beterbangan, dan tiba-tiba saja atap kayu yang rapuh itu berguncang. Dalam sekejap, kepanikan pecah.

“Lari! Lari keluar!” teriak guru mereka, Bu Siti, dengan wajah pucat.

Anak-anak bangkit berhamburan, sebagian menangis histeris, sebagian lagi berlari tanpa arah. Fauzi terperangah, jantungnya berdegup kencang. Saat itu ia melihat balok besar ambruk tepat di dekat pintu keluar, menghalangi jalan. Teman-temannya yang ingin keluar berdesakan, panik mencari celah.

Dalam hatinya, Fauzi tahu ia harus melakukan sesuatu. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah pintu. Dengan tangan kecilnya, ia menahan balok kayu yang nyaris roboh sepenuhnya. Tubuh mungilnya bergetar, wajahnya meringis menahan sakit.

“Cepat! Keluar semua! Jangan tunggu aku!” teriaknya dengan suara parau.

Anak-anak lain berlari keluar satu per satu. Rizal sempat berhenti, menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Zi! Ayo ikut aku!”

Fauzi menggoyangkan kepalanya. “Pergi, Jal! Tolong ibu-ibu dan guru di luar. Jangan biarkan ada yang tertinggal!”

Rizal meneteskan air mata, lalu berlari keluar bersama yang lain.

Kini tinggal Fauzi sendiri di dalam kelas yang semakin porak-poranda. Debu makin tebal, suara kayu patah terdengar di mana-mana. Tangannya semakin lemah, namun ia bertahan. Dalam hatinya, ia berdoa lirih, “Ya Allah, selamatkan teman-temanku. Biar aku saja yang di sini.”

Namun tubuh mungil itu tak mampu lagi menahan. Dengan satu gemuruh keras, balok besar dan atap runtuh menimpanya. Gelap. Sunyi.

Beberapa menit kemudian, orang-orang dewasa bergegas masuk setelah memastikan anak-anak keluar. Mereka menemukan Fauzi tertimpa reruntuhan. Nafasnya tersengal, matanya setengah terpejam. Di bibirnya, masih terdengar lantunan ayat pendek yang sempat ia baca sebelum kejadian.

“Cepat! Bawa ke rumah sakit!” teriak seorang guru sambil menggendong tubuh kecil itu.

Di perjalanan, Fauzi sempat membuka matanya. Ia melihat wajah gurunya yang menangis. Dengan suara lirih, ia berbisik, “Teman-temanku… mereka selamat, kan?”

Sang guru mengangguk sambil terisak. “Iya, Nak… semua selamat.”

Senyum tipis terukir di wajah Fauzi. Lalu, perlahan, matanya terpejam.

Keesokan harinya, langit Yogyakarta tampak muram, seakan ikut berduka. Di pemakaman kecil desa, tubuh Fauzi dimakamkan di samping pusara ayahnya. Puluhan anak sekolah hadir, membawa bunga, wajah mereka sembab. Rizal berdiri paling depan, menatap liang lahat itu dengan mata bengkak.

“Dia bukan hanya temanku… dia pahlawan,” bisiknya lirih.

Bu Siti, dengan suara bergetar, berkata di hadapan semua murid, “Fauzi telah mengajarkan kita arti keberanian dan ketulusan. Dengan tangan kecilnya, ia menyelamatkan nyawa teman-temannya. Semoga Allah menempatkannya bersama orang-orang yang dicintai-Nya.”

Sejak hari itu, nama Fauzi selalu dikenang di sekolah itu. Di ruang kelas yang kemudian diperbaiki, mereka memasang sebuah papan kecil bertuliskan:

“Di sini, seorang anak bernama Fauzi mengajarkan kita arti pengorbanan.”

Dan setiap kali teman-temannya membaca doa, mereka yakin Fauzi tersenyum dari tempat yang lebih indah, bersama ayahnya, dalam cahaya yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar