elfaqar - 24 Desember 2020. Malam ini, malam perayaan Natal. Bagi mereka yang ingin merayakan. Jam menunjukkan pukul setengah 12 malam, Waktu Indonesia Bagian Tengah. Ditemani kopi hitam buatan istri, saya mulai menulis ini.
Rasa-rasanya hampir satu tahun sejak kemunculan virus corona. Segala macam perkumpulan diawasi, kemudian diberikan sanksi. Namun tidak semua seperti itu.
Pernah ada kasus, sebuah pernikahan digelar di pinggiran kota Jakarta. Tiba-tiba saja datang sekelompok orang berbaju seragam lengkap, membubarkan dengan paksa resepsi pernikahan tersebut. Kursi-kursi mereka di lempar layaknya sampah.
"Tidak mematuhi protokol kesehatan", kata mereka.
Berbeda dengan yang terjadi di seuatu tempat. Saat itu sedang ada resepsi pernikahan anak jenderal. Sekelompok orang yang berbaju seragam tadi juga membubarkan acara tersebut. Namun dengan lemah lembut dan seperti orang yang keder melihat singa.
Perlakuan berbeda itu menunjukkan betapa hukum masih tumpul ke atas dan tajam kebawah.
Tidak ada habisnya berbicara masalah hukum di negeri ini. Mereka yang bodoh dan miskin selalu gampang untuk dianiaya. Kekuasaanlah yang memegang peran penting dari semua.
Perayaan natal, identik dengan berbagai pernak-perniknya. Saya tidak merayakannya, mungkin karena saya seorang muslim. Namun, hal tersebut tidak membatasi saya untuk menulis ini. Banyak muslim di Indonesia khususnya yang berkomentar negatif tentang perayaan natal.
Jika ada salah satu dari anggota teman mereka yang mengucapkan natal, maka harus siap-siap terbully. Bahkan ada salah seorang ulama yang mengatakan, bahwa mengucapkan natal sama saja seperti menjadi kafir. Hebat sekali pendapatnya.
Jika selemah itu iman kita, maka tidak ada gunanya sholat 5 waktu yang terus dikerjakannya. Jika hanya karena ucapan iman menjadi runtuh, maka saya rasa itu menjadi salah satu hal bodoh yang pernah ada di dunia.
Mereka terus mencaci, namun saya lihat mereka juga ikut libur ketika tanggal merahnya tiba. MUNAFIK!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar