elfaqar.blogspot.com - Saya lahir di bumi bameganya Kalimantan Selatan, Kotabaru. Tepatnya di Pulau Laut Timur, Desa Seratak. Sekitar 30 tahun yang lalu.
Di sebuah desa kecil di antara beberapa gunung. Di sebuah rumah kayu, saya dilahirkan. Namun ingatan tentang masa kecil di sana sudah hampir pudar.
Saya hanya ingat tentang pohon coklat di depan rumah almarhumah nenek yang sekarang sudah tidak ada lagi. Tentang jalan berbatu yang menanjak ketika memasuki desa.
Tentang birunya laut setiap kali melintasi jalan desa. Dan tentang itu semua tidak akan pernah terulang dan mungkin akan terlupa.
Walaupun dilahirkan di pulau borneo bagian selatan, saya dewasa di Pontianak Kalimantan Barat, bumi khatulistiwa, sebelah barat pulau borneo.
Tugu Khatulistiwa |
Saat itu hari masih subuh, saya masih lelap dan hanyut dalam mimpi. Tapi tiba-tiba, ada sensasi aneh yang menjalar di sekitar bagian ujung kaki dan beranjak naik hampir ke paha.
Berulang-ulang, semakin lama semakin pedih. Ketika sadar, saya lihat ayah sedang memukuli kaki saya dengan rotan kecil. Rotan itu didapatnya dari ibu, yang kebetulan sedang belajar merangkai kerajinan tangan di komunitas kecilnya di sekitar komplek.
Saya segera bangun dan meloncat seperti orang kesetanan. Menuju kamar mandi, dan segera berwudhu. Saat itu tidak ada rasa dendam sedikitpun kepada ayah, walau setiap hari terkena pukulan rotan.
Saya anggap itu hal yang wajar. Jika saya tidak bangun lebih awal, maka rotan akan melayang ke kaki saya.
Ayah memang lebih keras dalam hal mendidik anak-anaknya. Saya dua bersaudara dan saya yang paling tua.
Selesai sholat subuh di mesjid, saat di jalan pulang, hampir setiap hari saya disuruh ayah lari bolak-balik dari mesjid ke rumah. Walaupun jarak mesjid dan rumah hanya sekitar 100 meter. Namun, udara subuh yang menusuk kulit membuat kaki saya semakin letih.
Kadang juga saya disuruh push up atau hang up. Entah apa maksudnya. Hal tersebut berulang-ulang saya lakukan, hampir setiap hari.
Memasuki masa SMA. Saya mulai disibukkan oleh beberapa kegiatan ekstrakulikuler. Saya lebih sering mengikuti pramuka. Awalnya hanya diwajibkan saat semester 1 oleh sekolah. Memasuki semester ke 2, saya mulai tertarik dan melanjutkannya. Jadilah saya sering mengikuti beberapa perkemahan.
Entah sudah takdirnya atau bagaimana. Setiap perkemahan selalu saja ada barang saya yang hilang. Tongkat, pisau lipat, jas hujan, senter, bahkan jaket pun pernah hilang.
Sayangnya, kesenangan di masa SMA hanya berlangsung selama 1 tahun. Saya harus pindah sekolah mengikuti perpindahan ayah bekerja.
Konon kabarnya perusahaan yang ditempati ayah sedang mengalami kebangkrutan di cabang Pontianak. Mengakibatkan banyak karyawan di PHK. Teman-teman ayah yang sudah di PHK dan menerima pesangon, sekarang sudah bekerja di tempat lain.
Tapi sepertinya, ayah saya berpikir lain. Ia mempertahankan pekerjaannya dan rela dipindahtugaskan kembali ke Kalimantan Selatan. "Mungkin sudah saatnya kita pulang," kata ayah suatu saat kepada ibu.
Sangat disayangkan, semua harta benda, bahkan rumah yang sudah lunas kreditnya harus dijual. Kami sekeluarga pergi ke Kalimantan Selatan. Lebih tepatnya di Kotabaru, ya tempat kelahiran saya dahulu.
Berbicara soal pindah-pindah. Entah sudah beberapa kali saya pindah sekolah, sejak sekolah dasar dahulu. Dalam jangka waktu 6 tahun, saya bisa 4 kali pindah sekolah.
Bukan karena saya bodoh atau tidak naik kelas. Tapi karena beberapa faktor X, yang mengharuskan saya berpindah sekolah.
Hanya di masa SMP lah saya tidak merasakan pindah-pindah sekolah.
Masa-masa SMP tidak akan mudah terhapus dari ingatan. Pasalnya di masa ini saya mulai memiliki rasa untuk menyukai lawan jenis. Tapi, dasarnya saya agak kolot. Di masa pubertas ini, untuk mengatakan suka kepada orang lain saja saya masih malu.
Saya sering menulis beberapa surat untuknya setiap pagi. Saya selipkan di laci mejanya, saat sekolah masih sepi seperti kuburan.
Kadang juga saya buatkan puisi untuknya, namun tidak pernah saya ungkapkan pengirim surat tersebut. Beberapa kenangan memang tidak akan pernah bisa hilang, apalagi jika itu semua berhubungan dengan emosi.
Selain rasa malu, yang membuat saya tidak bisa mengungkapkan perasaan suka kepadanya. Mungkin juga dikarenakan agama yang dianutnya berbeda. Namun itu tidak pernah menjadi halangan bagi saya untuk menyebut namanya di dalam setiap akhir doa seusai sholat, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.
Saya rasa cukup berbicara tentang cinta, saya pun sekarang sudah mulai berusaha melupakannya. Saya yang sekarang, sudah beristri dan memiliki seorang anak. Rasanya tidak pantas untuk mengingat hal itu, namun seburuk atau seindah apapun sebuah kenangan. Ia tetap akan menjadi cerita masa lalu yang pasti dimiliki setiap orang. Seperti ingatan saya di Bumi Khatulistiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar